Fogging, upaya sia-sia dalam penanggulangan demam berdarah?

Selama ini, fogging diagung-agungkan sebagai upaya terbaik dalam penanggulangan demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia. Tapi apa hasilnya? Sudah bertahun-tahun lalu upaya fogging dilakukan tapi korban DBD tetap berjatuhan, sehingga timbul pertanyaan apakah fogging sia-sia dalam menanggulangi DBD.


Jakarta digentayangi Demam berdarah

Pada minggu pertama bulan April 2007 ini, penduduk Jakarta dikagetkan dengan pernyataan Sutiyoso selaku Gubernur DKI Jakarta yang mengumumkan bahwa Jakarta dinyatakan sebagai daerah kejadian luar biasa (KLB) Demam Berdarah.


Hal yang mendasari pernyataan tersebut adalah ditemukannya kasus DBD sejak Januari sampai April 2007 sebanyak 11.094 dengan jumlah kasus terbanyak di Jakarta Selatan sebanyak 3696 kasus dimana 14 orang diantaranya telah meninggal.


Menurut DR. Dr. Fahmi Idris, M.Kes, Ketua Umum PB IDI, dalam diskusi publik yang diadakan di Sekretariat PB IDI (12/04/07), Jakarta merupakan barometer pengendalian DBD. Jika DBD bisa ditaklukan di Jakarta, maka besar kemungkinan kasus di daerah lain bisa ditekan.


Namun, justru DBD menjadi momok mengerikan yang sulit untuk dikendalikan di Jakarta. Alasan yang muncul ke permukaan menyebutkan bahwa Jakarta kurang dokter sampai Jakarta kurang darah alias trombosit, benarkah demikian?


Hematokrit Mania bukan Trombosit Mania

?Pasien DBD tidak memerlukan transfusi trombosit,? ungkap Prof. Dr. Zubairi Djoerban, SpPD-KHOM, Ketua Perhimpunan Onkologi Indonesia Prinsip dalam mengobati DBD adalah pemberian cairan yang adekuat. Antibiotik hanya diberikan bila terbukti telah terjadi infeksi.


Cairan yang bisa diberikan dalam memperbaiki kondisi kesehatan pasien DBD adalah cairan kristaloid maupun cairan koloid. Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9%, Dextrose 5%, Ringer Laktat, sedangkan cairan koloid seperti dextran, expafuchsin, plasma, albumin.


Transfusi darah yang tidak perlu dapat berisiko menimbulkan penyakit baru yang ditularkan melalui darah. Berdasarkan data dari USA, mulai dari virus hepatitis A, B, C dan HIV mungkin dapat terkandung dalam darah yang ditransfusikan. Risiko tertular penyakit yang paling besar adalah hepatitis C dimana perbandingannya 1 : 30-150.000.


Tidak hanya itu, kantong darah juga berpotensi terkontaminasi bakteri sehingga dapat menularkan bakteri kepada penerima transfusi. Data yang diperoleh dari USA menyatakan bahwa pada kantong darah berisi trombosit berisiko terkontaminasi bakteri dengan perbandingan 1 : 12.000.


Diagnosa DBD ditegakkan pada kadar trombosit dan darah yang semakin pekat (hemokonsentrasi) yang ditandai dengan peningkatan hematokrit paling sedikit 20% di atas rata-rata. Menurut WHO, pasien DBD memiliki kadar trombosit kurang dari 100.000 sel/mm3. Kondisi ini dikenal dengan trombositopeni.


Kadar trombosit menurun pada hari ke-3 sampai ke-5 mulai demam. Kemudian pada hari ke-6 dan selanjutnya malah meningkat. Kadar trombosit yang naik turun ini bisa mengelabui diagnosa DBD, sehingga disarankan untuk mengamati kadar hematokrit.


DBD berpotensi menjadi wabah penyakit

DBD adalah penyakit akut yang disebabkan infeksi virus yang dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus betina yang umumnya menyerang pada musim panas dan musim hujan. Virus itu menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler dan pada sistem pembekuan darah, sehingga mengakibatkan perdarahan-perdarahan.


Menurut Prof. Dr. Nelwan, Sp.PD, wabah DBD biasanya terjadi setiap minimal 5 tahun sekali. Namun sekarang terjadi hampir setiap tahun terjadi bahkan pada negara yang belum pernah melaporkan kejadian DBD seperti Bhutan. Jumlah kasus DBD di seluruh dunia telah mencapai 50 juta pertahun. Sampai-sampai WHO pun mengeluarkan global warning.


Siklus penularan DBD bisa dihentikan dengan membunuh nyamuk Aedes aegypti yang bertindak sebagai vektor penyakit. Nyamuk yang berwarna hitam putih ini tergolong hewan serangga, sehingga untuk membunuhnya dapat menggunakan insektisida.


Pemberantasan vektor nyamuk dewasa dilakukan dengan penyemprotan insektisida di wilayah perumahan dimana ditemukan kasus DBD yang lebih dikenal dengan sebutan fogging focus (pengasapan). Menurut kebijaksanaan WHO, fogging merupakan cara yang paling efektif untuk menekan nyamuk dewasa dan sebaiknya dilakukan setiap 10 hari.


Demam berdarah termasuk penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah sesuai Undang-undang No.4 tahun 1984 tentang wabah penyakit menular dan Peraturan Menteri Kesehatan No.560 tahun 1989 bahwa setiap penderita maupun tersangka DBD harus segera dilaporkan selambat-lambatnya 24 jam oleh unit pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, poliklinik, balai pengobatan, dokter praktek swasta, dll.


Lamanya tindakan fogging

Pada kenyataannya, pelaporan kasus DBD ini seringkali sudah sangat terlambat sehingga institusi kesehatan (Dinas Kesehatan, Puskesmas) pun kemudian terlambat bertindak. Setelah kemunculan klinis DBD, pasien baru pergi ke rumah sakit dalam waktu 2-5 hari.


Selanjutnya penanganan di rumah sakit termasuk penegakan diagnosa DBD dan perbaikan kondisi pasien membutuhkan waktu selama 12 hari baru melaporkan ke pukskesmas. Kemudian pihak puskesmas akan melakukan pemeriksaan epidemiologi ke rumah pasien selama lebih kurang 5 hari. Jika hasil epidemiologi menemukan jentik, baru rumah penderita dan sekitarnya difogging.


Bisa dibayangkan, waktu yang dibutuhkan sampai tindakan fogging dilakukan adalah sebanyak 22 hari. Apakah fogging yang sangat terlambat itu akan bermanfaat atau malah sia-sia? Hal ini dilontarkan oleh Dr. Rita Kusriastuti, MSc, Kasubdit Arbovirosis Ditjen P2PL Depkes RI.


Selain itu, salah kaprah yang berkembang di masyarakat adalah persepsi bahwa setiap ada kasus DBD pasti akan difogging. Padahal fogging baru dilakukan bila terjadi KLB atau bila dalam penyelidikan epidemiologis menemukan penderita DBD lainnya (1 atau lebih) atau menemukan minimal 3 tersangka DBD dan ditemukan jentik minimal 5% dari rumah yang diperiksa.


Selanjutnya, fogging akan dilaksanakan di rumah penderita dan rumah/bangunan sekitarnya dengan radius 200 meter dalam 2 siklus dengan interval 1 minggu.


Sia-siakah fogging?

?Fogging itu harus dan wajib dilakukan,? ujar Dr. Rita Kusriastuti, MSc, Kasubdit Arbovirosis Ditjen P2PL Depkes RI. Fogging dapat memutuskan rantai penularan DBD dengan membunuh nyamuk dewasa yang mengandung virus. Namun, fogging hanya efektif 1-2 hari.


Selain itu, jenis insektisida yang digunakan untuk fogging juga harus diganti-ganti untuk menghindari resistensi dari nyamuk. Departemen Kesehatan selalu mengawasi jenis insektisida yang digunakan.


Memang jika menunggu fogging yang dilakukan oleh puskesmas akan lama karena keterbatasan dana. Alternatifnya masyarakat bisa melakukan fogging swadaya dengan membeli obat nyamuk semprot maupun penyedia jasa penyemprotan. Obat nyamuk dapat disemprot di pagi dan sore hari baik di dalam rumah dan halaman.


Para pembicara dalam diskusi publik setuju bahwa fogging tidak sia-sia jika dilakukan berkesinambungan. Bahkan akan sia-sia jika hanya melakukan fogging dalam menanggulanggi DBD.


Pemberantasan Sarang Nyamuk

Selain pemberantasan vektor nyamuk Aedes aegypti melalui fogging, pemberantasan jentik juga merupakan upaya pencegahan yang dapat dilakukan. Dalam pemberantasan jentik dikenal dengan istilah pemberantasan sarang nyamuk (PSN) yang terdiri dari 3M (Menguras, Menutup, Mengubur), larvasida (serbuk abate), memelihara ikan pemakan jentik.


Insektisida hanya mampu membunuh nyamuk dewasa, sedangkan telur-telur dan jentik nyamuk yang biasa menempel pada wadah seperti bak mandi dapat dibasmi dengan menyikat/membersihkan bak mandi.


Tidak hanya di lingkungan, upaya PSN ini pun sudah digalakan di sekolah-sekolah dengan mengadakan program antar sekolah.


Nyamuk Aedes aegypti sudah semakin pintar. Sekarang tidak hanya berkembang di genangan air tapi juga bisa bertahan di tempat kering dan sulit dijangkau.


Kerjasama pemerintah dan masyarakat penting untuk membebaskan Indonesia dari DBD. Para dokter mengusulkan 3M++, plus pertama yaitu penyemprotan dan plus kedua dengan pemakaian losio anti nyamuk.


Mencontoh Negara Tetangga

Tidak seperti Indonesia, negara tetangga kita yang sama-sama beriklim tropis ternyata tidak memiliki masalah dalam menangani DB. Sebut saja Singapura dan Malaysia. Kedua negara tersebut bisa mengendalikan penyakit menular yang umum terjadi di daerah tropis ini bahkan telah berhasil mencanangkan bebas DBD.


Jangan heran, ternyata Singapura dan Malaysia telah lama memiliki undang-undang yang mengenakan sanksi berupa denda terhadap warga negaranya yang kedapatan memelihara jentik nyamuk di rumahnya.


Tidak tanggung-tanggung, hasil pengumpulan denda tersebut berjumlah 317.000 Dolar Singapura di singapura dan 2.400.000 Ringgit di Malaysia. Hal ini diungkapkan oleh Dr. Rita Kusriastuti, MSc, Kasubdit Arbovirosis Ditjen P2PL Depkes RI yang telah berkunjung ke sana.


Departemen Kesehatan dan Pemprov DKI Jakarta kini tertarik untuk mengikuti jejak negara tetangga dengan membuat UU Jentik. Namun, dengan birokrasi di negara kita, kemungkinan UU tersebut baru disahkan beberapa tahun mendatang.


Bersama kita bisa

Tahun 2007 ini, BMG mengestimasikan kasus DBD akan muncul sebanyak 125.000 kasus. Hasil estimasi ini pun memperkirakan faktor iklim dengan keberadaan El Nino yang merupakan musim basah. Namun, Dr. Rita menyebutkan data dari Januari sampai 12 April 2007 sudah tercatat 52.000 kasus. Bukan tidak mungkin, kasus yang dapat terjadi melampaui estimasi BMG.


Masyarakat pun harus proaktif dalam mencegah DBD. Contoh kekuatan kekompakan masyarakat telah terbukti di negara Kuba. Mulailah dari diri sendiri dan rumah sendiri baru kemudian lingkungan sekitar. Hentikan penyebaran nyamuk Aedes Aegypti dan Indonesia bisa bebas dari DBD akan menjadi hal mungkin.