Bekti-medicastore.com
27-05-2016

Waspadai Benjolan Pada Leher, 90% Merupakan Gejala Kanker Nasofaring

sumber : kankernasofaring.org

 

Kanker nasofaring adalah keganasan yang muncul pada daerah nasofaring, yaitu area diatas tenggorok & dibelakang hidung. Kanker nasofaring ini menempati urutan ke-4 dari kanker yang banyak ditemukan di Indonesia setelah kanker leher rahim, kanker payudara & kanker paru. Penyebab dari kanker nasofaring bisa karena berbagai hal, antara lain : virus Eipstein-Barr, bahan kimia/tembakau, sering mengkonsumsi makanan yang mengandung pengawet/makanan fermentasi, kebiasaan memasak dengan menggunakan kayu bakar, kegiatan keagamaan (dupa/kemenyan) serta sering terpapar dengan gas & bahan kimia industry ataupun peleburan besi formaldehyde serta serbuk kayu. Demikian hal tersebut diungkapkan dalam seminar media tentang kanker nasofaring yang berlangsung di Hotel Grand Sahid Jaya, hari Rabu, 25 Mei 2016 kemarin.

Dalam presentasinya, Dr.dr.Cita Herawati, SpTHT-KL menjelaskan, “Gejala kanker nasofaring dapat di golongkan dalam 4 bagian yaitu gejala pada hidung berupa mimisan ringan sampai berat, terasa sumbatan di hidung, kadang sering dirasakan pilek lama yang seperti gejala sinusitis; gejala pada telinga karena tumor terletak di dekat muara tuba Eustachius / fossa Rosenmuller maka akan dirasakan rasa tidak nyaman ditelinga seperti tersumbat, dengung (tinitus), bahkan sering ada rasa nyeri ( otalgia); gejala pada  mata dan saraf yakni tumor mulai masuk kedalam lubang-lubang tengkorak dimana banyak dilalui saraf sehingga saraf tersebut terjepit, yang berakibat penglihatan ganda /dobel dan dirasakan nyeri di daerah pipi dan sekitarnya (trigeminal pain) serta gangguan menelan, berbicara, kelemahan otot bahu /leher ( sindroma Jackson); & yang terakhir gejala metastasis lokal pada leher : terdapat benjolan di leher dapat di satu sisi maupun dua sisi leher.”

Lebih lanjut, menurut dr. Cita, “Diagnosis KNF ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis keluhan pasien sesuai dengan 4 gejala diatas, tempat bekerja, paparan penyebab kanker & riwayat keluarga. Ppada pemeriksaan fisik berupa rinoskopi anterior dan posterior atau nasoendoskopi ( diteropong dari hidung sampai ke nasofaring), akan tampak tumor di daerah nasofaring. Selain itu juga dilakukan biopsi yakni mengambil bahan/sampel dari nasofaring yang dilanjutkan dengan pemeriksaan Patologi Anatomi untuk menegakkan diagnosis. Selain itu dokter juga akan melakukan CT Scan Nasofaring/ MRI nasofaring, Rontgen paru, USG perut, Bone Scann dan penentuan stadium : TNM, ”. 

Oleh karena itu, bila ada pasien yang mengalami benjolan di daerah leher, penting untuk segera berkonsultasi ke dokter spesialis THT-KL & dilakukan pemeriksaan lebih lanjut serta biopsi pada daerah nasofaring untuk mengetahui apakah pembengkakan tersebut merupakan gejala kanker nasofaring atau tidak. Karena bila pasien langsung mengambil opsi pembedahan untuk mengangkat benjolan tersebut & ternyata itu merupakan keganasan yang tidak ditangani dengan tuntas, maka kanker tersebut bisa menyebar ke daerah tubuh lainnya, tambah dr. Cita.

Terkait dengan program pengobatan kanker nasofaring, Prof. Dr. dr. A. Harryanto Reksodiputro, SpPD-KHOM mengungkapkan, “Program pengobatan kanker nasofaring terdiri atas radioterapi, kemoterapi dan kombinasi keduanya. Pengobatan radioterapi bersifat lokal, namun untuk kasus dengan ukuran tumor yang besar, sebaiknya didahului dengan kemoterapi terlebih dahulu untuk mengecilkan ukuran tumor. Apabila pada tumor ukuran besar dilakukan penyinaran maka pada daerah di tengah tumor dapat terjadi kondisi hipoksia (kekurangan oksigen) sehingga kanker mudah berkembang dan daerah tersebut menjadi resisten terhadap radioterapi.”

“Penentuan pengobatan kanker dipengaruhi oleh jenis yang kanker diidap pasien. Setiap benjolan/tumor (sel) kanker bersifat heterogen/berbeda-beda sehingga pengobatan kanker pada umumnya tergantung pada kondisi masing-masing individu (individualized therapy). Selain itu, pengobatan dilakukan dengan memperhatikan penyakit penyerta (komorbid) pasien tersebut. Sehingga pengobatan sebaiknya berupaya menciptakan keadaan yang optimal pada pasien, artinya kondisi yang menghasilkan kualitas hidup terbaik yang menjadi prioritas. Kemampuan fisik pasien juga perlu diperhatikan dalam menentukan pengobatan, mengingat pengobatan kanker memiliki efek samping seperti kemoterapi (mual, muntah, rambut rontok), radioterapi (kerusakan organ), bedah (infeksi). Stadium penyakit kanker juga turut menentukan jenis pengobatan, disamping itu pasien juga turut diberitahukan mengenai hasil pengobatan optimal yang dapat dicapai, yakni manfaat pengobatan dibandingkan risiko yang diambil (biaya dan penderitaan). Pasien didorong untuk mencapai kualitas hidup atau mati yang baik melalui pengobatan yang dijalani,” lanjutnya.