medicastore
19-10-2016

Mencegah Gangguan Stres Pasca Trauma (PTSD) dengan Intervensi Psikososial

Bencana (stressor) psikososial bisa berupa banyak hal, dari yang bersifat massal seperti bencana alam, perang, dll hingga yang bersifat individu seperti trauma akibat kekerasan, pemerkosaan, dll. Bencana psikososial ini perlu ditangani dengan baik & menyeluruh supaya tidak menjadi gangguan jiwa yang berat. Demikian hal tersebut terungkap dalam acara konfrensi pers tentang Pencegahan Gangguan Jiwa Akibat Bencana Psikosial, yang berlangsung pada tanggal 10 Oktober 2016, bertepatan dengan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia.

Psychosocial stress

sumber :BrainImmune

DR. dr. Nurmiati Amir, SpKJ (K) – Ketua Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian Psikiatri mengungkapkan, “Stressor belum tentu mengakibatkan stres pada semua individu, hal ini tergantung pada kepribadian, pengalaman serta kemampuan menghadapi masalah (coping). Hal yang perlu dicegah adalah terjadinya gangguan stresor akut, gangguan stres pasca trauma atau (PTSD), atau gangguan jiwa lainnya. Sebelum individu mengalami PTSD, terjadi fase akut yang berlangsung mulai dari 3 hari hingga 1 bulan pasca trauma (gangguan stress akut). Bila tidak ditangani dengan baik, gangguan stres akut dapat berlanjut menjadi PTSD.”

“Di dalam otak manusia, terdapat bagian yang disebut amigdala. Amigdala merupakan pusat rasa takut. Ketika terjadi bencana psikososial, amigdala teraktivasi dan kemudian mengirim sinyal ke berbagai bagian otak lainnya. Amigdala tak ubahnya seperti “stasiun pemancar” yang mengirim sinyal ke berbagai penjuru. Misalnya, Amigdala mengirim sinyal ke batang otak sehingga terjadi peningkatan denyut jantung (berdebar-debar) dan pembuluh darah perifer menciut sehingga orang menjadi pucat. Amigdala juga mengirim sinyal ke pusat yang mengatur pernafasan sehingga nafas orang yang mengalami trauma menjadi pendek atau cepat. Peristiwa rasa takut yang hebat akan disimpan ke bagian otak yang disebut hipokampus yang akan muncul kembali (berulang kali) sebagai memori yang intrusif. Selain itu, peristiwa yang menakutkan tersebut muncul dalam bentuk mimpi buruk. Korban juga merasa seperti kembali berada dalam peristiwa traumatik tersebut. Sensasi atau perasaan yang dirasakan ketika sedang mengalami trauma tersebut muncul kembali. Penyimpanan memori tentang peristiwa traumatik tersebut, tidak sama dengan penyimpanan memori biasa. Memori bencana traumatik disimpan lebih dalam dan lama atau sulit atau tidak mungkin hilang. Bencana traumatik dapat menghilangkan emosi positif (misalnya rasa gembira, bahagia, puas, dan kelembutan) tetapi meningkatkan emosi negatif, (misalnya sedih, marah, cemas, kebencian, rasa bersalah dan rasa malu),” ungkapnya.

DR. dr. Nurmiati Amir, SpKJ (K) juga menambahkan, “Untuk mengatasi reaksi stressor akut tersebut, masyarakat dihimbau untuk membawa seseorang yang terkena bencana psikososial ke tempat yang aman, menawarkan bantuan, dan membantu menghubungkan korban dengan layanan sosial atau rumah sakit. Kemudian evaluasi berbagai faktor risiko terjadinya PTSD perlu diketahui, misalnya adanya riawayat kekerasan pada masa anak, memiliki gangguan jiwa, memiliki faktor keturunan gangguan jiwa (cemas dan mood lainnya), memiliki IQ rendah atau defisit kognitif, adanya perilaku menghindar, kurangnya dukungan sosial, dan perempuan merupakan faktor risiko yang perlu diwaspadai”.

dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ mewakili Bidang Publikasi - Kemitraan - Hubungan Luar Negeri PP PDSKJI, dan pernah menjabat sebagai Ketua Panitia Kerja UU Kesehatan Jiwa Komisi IX DPR RI (2012-2014) menambahkan, “Hal yang harus menjadi perhatian dalam proses intervensi psikososial terutama akibat kejadian bencana alam yakni intervensi psikologis paska bencana dibutuhkan dan harus tersedia di setiap area bencana alam, pengungsi yang tinggal di rumah sanak saudara atau bukan di tempat pengungsian/barak harus mempunyai akses yang sama untuk pelayanan kesehatan jiwa, program-program harus mempertimbangkan faktor-faktor resiliensi, masalah kejiwaan anak harus ditangani dalam program kesehatan jiwa komunitas, “ jelasnya.

“Salah satu bentuk intervensi psikososial paska bencana adalah metode Psychological First Aid (PFA) yang berperan dalam membantu para penyintas bencana alam mengurangi luka psikologis dan mengembangkan fungsi adaptifnya sekaligus mengakselerasi pemulihan psikologis pasca mengalami peristiwa sulit akibat bencana alam. Prinsip dasar melakukan pertolongan pertama adalah untuk memberikan perasaan aman, ketenangan, keyakinan atas kemampuan diri dan komunitas di sekitar individu, memberikan perasaan keterikatan dan memberikan harapan. Hal tersebut bukan hanya bisa dilakukan oleh professional kesehatan jiwa seperti psikiater, psikolog, dan perawat jiwa, tetapi pekerja sosial dan relawan dari masyarakat awam yang sudah mengikuti pelatihannya juga bisa bertindak melakukan hal tersebut,” lanjut dr. Nova.