41st Annual Meeting of The European Association for The Study Of The Liver
30-10-2006

MENUJU PENGOBATAN HEPATITIS C KRONIS IDEAL

Kombinasi terapi interferon terpegilasi dan ribavirin adalah pengobatan standar untuk pasien terinfeksi virus hepatitis C kronis. Pedoman terbaru menyarankan 48 minggu pengobatan pada genotipe-1 dan 24 minggu pada genotipe 2 dan 3. Secara garis besar, pengobatan tersebut menghasilkan respon virus menetap (sustained virological response) pada setengah dari semua pasien.

Usaha terus-menerus telah dilakukan untuk memperbaiki respon melalui pendekatan secara individu terhadap pengobatan, khususnya dengan menyesuaikan durasi pengobatan dengan virus spesifik dan karakteristik pasien. Dalam menentukan durasi terapi optimal, muatan virus sebelum pengobatan dan penurunan RNA virus Hepatitis C (VHC) selama fase pengobatan awal ternyata merupakan parameter penting.

Data studi baru yang dipresentasikan pada EASL (European Association For The Study of The Liver) tahun ini mendukung konsep bahwa pengobatan yang lebih pendek dari terapi yang disarankan dengan peginterferon alfa-2b dan ribavirin dapat efektif pada beberapa pasien hepatitis C pada genotipe 1, demikian juga genotipe 2 dan 3.

Ada sedikitnya 6 genotip virus Hepatitis C (VHC) dan lebih dari 50 subtipe VHC yang terindentifikasi. Genotip disini maksudnya gen yang menyusun suatu organisme atau virus. Genotip 1 adalah genotip yang paling umum. Dengan mengetahui genotip atau serotip (antibodi spesifik terhadap genotip) VHC, dapat membantu dalam memilih pengobatan yang sesuai. Pasien dengan genotip 2 dan 3 memiliki respon hampir 3 x lebih baik dibandingkan dengan pasien dengan genotip 1 terhadap pengobatan dengan interferon alfa.

Genotip 1: kesimpulan klinis akan pengobatan dipercepat

Kombinasi pengobatan interferon dan ribavirin standar yang disarankan selama 24 minggu dibandingkan 48 minggu dapat kurang efektif pada pasien genotip 1 (VHC-1) dengan jumlah RNA VHC sebelum pengobatan yang rendah. Namun, mempersingkat durasi pengobatan dapat menguntungkan pasien dengan membatasi efek samping pengobatan meskipun risiko kambuh masih tetap ada.

Pada studi pengobatan selama 48 minggu, pasien tanpa respon cepat akan diuntungkan dengan pengobatan selama 1 tahun. Penghentian pengobatan dan pengurangan dosis menyebabkan efek samping lebih rendah dalam 24 minggu pengobatan dibandingkan dengan 48 minggu.

Menyesuaikan durasi pengobatan berdasarkan kecepatan respon virus dapat menjadi pendekatan yang beralasan terhadap pengobatan pasien VHC-1. Disarankan bahwa pengobatan yang lebih singkat memungkinkan untuk pasien VHC-1 yang mencapai hasil virus negatif yang cepat dengan peginterferon alfa-2b.

Apakah lebih singkat lebih baik untuk genotip 2 dan 3?

Dalam beberapa tahun belakangan, beberapa uji klinis telah menemukan durasi pengobatan optimal pada pasien VHC genotip 2 dan 3 (VHC-2/3).

Sebuah studi dilakukan dengan membandingkan manfaat dan keamanan pengobatan menggunakan kombinasi obat yang sama yaitu peginterferon alfa-2b dan ribavirin tetapi dengan durasi yang berbeda yaitu 24 minggu (berdasarkan berat badan) dan 48 minggu.

Studi tersebut menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh dengan pengobatan selama 24 minggu hampir sama dengan 48 minggu. Hal ini membuktikan bahwa 24 minggu cukup untuk mengobati pasien VHC-2/3.

Dari studi lain juga diketahui bahwa pengobatan 24 minggu dengan peginterferon alfa-2b dan ribavirin (baik berdasarkan berat badan maupun dosis tetap) sama efektifnya dengan 48 minggu pada pasien VHC-2/3, bahkan ditoleransi lebih baik. Pasien VHC-2 menunjukkan respon yang lebih baik dibandingkan pasien VHC-3. Pengobatan dengan peginterferon alfa-2b dan ribavirin menghasilkan risiko kambuh yang kecil.

Menuju pengobatan IDEAL

Kedua interferon terpegilasi yang disetujui untuk mengobati hepatitis C kronis belum pernah dibandingkan secara langsung. Berdasarkan hasil uji klinis, rata-rata SVR 56% dengan peginterferon alfa-2a dan 61% dengan peginterferon alfa-2b. Namun, perbedaan ini juga dipengaruhi oleh sifat pasien, desain studi, dan variabel penting lainnya.

Studi IDEAL (Individualised Dosing Eficacy vs flat dosing to Asses optimaL pegylated interferon therapy) telah dirancang untuk menentukan perbedaan manfaat dan keamanan kedua obat pada dosis yang disetujui dalam kombinasi dengan ribavirin. Hasil studi ini diharapkan dapat diketahui pada awal tahun 2008.

Dalam usaha menuju IDEAL, beberapa data muncul dari perbandingan kecil. Peginterferon alfa-2a dan alfa-2b berbeda dalam ukuran dan tempat menempel polietilenglikol pada molekul interferon. Disamping itu, terdapat perbedaan keduanya dalam profil farmakologis dan respon antivirus. Meskipun konsentrasi peginterferon alfa-2a sebanyak 16-25 kali lebih tinggi dibandingkan dengan alfa-2b pada minggu pertama dan keempat, tidak ada perbedaan dalam hasil pemeriksaan antivirus.

Pasien yang diobati dengan peginterferon alfa-2b memiliki risiko kambuh yang lebih rendah dibandingkan dengan alfa-2a. Selain itu, peginterferon alfa 2-b menunjukkan penurunan muatan virus secara signifikan in vivo setelah 1 dan 4 minggu.

Pengobatan baru

Pengembangan antivirus yang menghambat enzim virus penting merupakan salah satu strategi untuk mengembangkan agen anti virus hepatitis C. Meskipun secara teori semua enzim virus hepatitis C dapat menjadi target untuk intervensi terapi, serine protease NS3-4A dan NS5B polimerase telah menjadi target penelitian yang populer.

Protease NS3-4A sangat penting dalam pembentukan komponen tertentu replikasi RNA virus komplek. Dengan menghadang enzim ini diharapkan dapat menghambat replikasi VHC melalui penekanan produksi partikel virus dan memulihkan respon pasien terhadap interferon.