www.kompas.com
15-03-2007

Awas, Obat Palsu Mengintai Kita

Anda pernah minum obat tetapi penyakit Anda tidak sembuh-sembuh? Atau justru semakin parah? Hati-hati, jangan-jangan Anda adalah salah satu korban obat palsu. Kemasan obat-obatan palsu yang begitu mirip sehingga sulit dibedakan dengan aslinya itu sering kali mengecoh konsumen, khususnya masyarakat awam.


Saya baru bisa membedakan obat ini palsu atau tidak setelah 26 tahun berpengalaman sebagai dokter," ujar Marius Widjajarta, dokter yang aktif berkecimpung di Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia.


Angka perdagangan obat palsu di Indonesia memang tidak diketahui dengan pasti. Namun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, perdagangan obat palsu di Indonesia sebesar Rp 3 triliun per tahun, atau sekitar 10 persen dari perdagangan obat di Tanah Air.


Hingga kini, tercatat 81 merek obat yang beredar di Indonesia dipalsukan. Obat-obat tersebut adalah obat yang tergolong laku di pasaran. Sementara, Badan Perdagangan Dunia (WTO) menyebutkan, jenis-jenis obat yang dipalsukan di negara-negara berkembang antara lain obat malaria, TBC, juga HIV/AIDS.


Sebagian obat tergolong palsu karena tidak memiliki izin edar di Indonesia. Sebagian lagi tergolong palsu karena memiliki kadar bahan aktif di bawah standar. Sebagian obat tidak memiliki bahan aktif sama sekali atau tidak berkhasiat bagi tubuh.


Di beberapa negara, seperti Amerika Serikat (AS) dan China, obat palsu bahkan sudah menghilangkan nyawa. Sementara di Indonesia, korban obat palsu belum diketahui jumlahnya. Sebagian besar konsumen memang tidak sadar bahwa mereka sebenarnya telah mengonsumsi obat palsu.


"Saya memang pernah sakit, tidak sembuh walau sudah minum obat. Tetapi, apa itu artinya saya minum obat palsu?" ujar Santi (28), karyawati sebuah perusahaan swasta.


Apotek atau toko obat resmi memang tidak menjamin keaslian suatu obat. Bandingkanlah misalnya, obat tertentu yang dibeli di satu apotek dengan obat yang sama yang dibeli di apotek atau toko obat lain. Ada kemungkinan, kemasan obat tersebut sedikit berbeda, misalnya saja bentuk huruf atau warna yang berbeda.


Kendati tidak menjamin aman, Marius menganjurkan konsumen membeli obat, khususnya obat-obat daftar G atau keras, di apotek. Biasanya, pada kemasan obat-obat daftar G tertera lingkaran berwarna merah dengan garis tepi hitam. Di dalam lingkaran tersebut terdapat huruf dengan K berwarna hitam. Ini artinya, obat-obatan tersebut harus dibeli dengan resep dokter.


Selain itu, ada pula obat yang pada kemasannya terdapat lingkaran berwarna biru dengan garis tepi hitam. Obat-obat tersebut adalah obat bebas, namun hanya bisa didapatkan di apotek atau toko obat berizin.


Dengan membeli obat di apotek, kata Marius, konsumen terlindungi. Apabila terbukti obat yang dibeli konsumen tersebut palsu, apotek tersebut bisa dituntut secara hukum. Konsumen dilindungi Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 dengan ancaman hukuman lima tahun penjara dan atau denda dua miliar rupiah.


Selain itu, agar tidak terjebak obat palsu, konsumen juga harus memerhatikan secara saksama obat yang dibelinya. Hal pertama yang harus diperhatikan adalah nomor registrasi sebagai tanda obat tersebut sudah mendapat izin di Indonesia.


Beberapa obat yang dikonsumsi luas, misalnya Actifed-P Cold, yang mengandung Triprolidine HCl, Pseudoephedrine HCl BP, dan Paracetamol BP, selama kurun 1999-2006 ternyata belum mendapat register di Indonesia. Obat-obat luar yang palsu itu dapat dibeli bebas, antara lain di Pasar Pramuka, Jakarta Timur.


Selain itu, konsumen juga harus cermat memeriksa kualitas kemasan dan kualitas fisik produk tersebut. Ini mengingat, beberapa produk obat palsu hampir sama persis dengan aslinya. Namun, kemasan obat palsu terkadang kurang rapi.


Hal lain yang harus diperhatikan adalah nama dan alamat produsen tercantum dengan jelas. Konsumen juga harus teliti membaca indikasi, aturan pakai, peringatan, kontra indikasi, efek samping, penyimpanan, serta tanggal kedaluwarsa.


Generik

Beberapa bulan terakhir, modus pemalsuan obat di Indonesia berkembang. Sindikat obat palsu tidak lagi meracik atau membuat obat, melainkan mengganti kemasan obat generik menjadi obat bermerek. Selain tidak terlalu berisiko, keuntungan yang didapat para pemalsu itu juga bisa puluhan kali lipat. Itu karena perbedaan harga obat generik dan obat bermerek bisa sampai 80 kali lipat.


Pemalsuan obat juga berkembang karena ada kerja sama antara dokter dan produsen tertentu. Sejak awal, dokter tidak menjelaskan perbedaan obat paten, obat bermerek, dan obat generik. Sebagian dokter menyebut obat bermerek sebagai obat paten. Padahal, kata Marius, keduanya sangat berbeda.


Obat paten adalah obat yang dihasilkan melalui riset atau penelitian. Produksi obat paten berlangsung selama 20 tahun sebelum akhirnya hak produksi juga diberikan kepada perusahaan lain. Adapun obat generik adalah obat yang dijual dengan nama persis nama zat yang terkandung di dalamnya. Sementara obat bermerek adalah obat generik yang diberi merek sesuai nama perusahaannya.


"Yang bekerja di dalam tubuh tetap saja generiknya. Kita kan enggak makan mereknya," kata Marius.


Sebagai pasien, sebenarnya konsumen berhak menentukan apakah dia ingin menggunakan obat generik atau obat yang bermerek. Namun, jarang ada dokter yang memberikan opsi kepada pasien. Selain itu, konsumen juga beranggapan obat bermerek lebih manjur daripada obat generik.


Pengalaman buruk soal obat antara lain dialami Nika (26) saat berobat ke Dr W, spesialis penyakit dalam yang terkenal di Jakarta. Untuk mengobati jamur yang bersarang di ususnya, Nika diminta membeli berbagai macam obat dan vitamin yang harganya mencapai Rp 500.000. Belakangan, Nika tahu bahwa obat lambung dan vitamin yang diresepkan dokter kepadanya sebenarnya tidak diperlukan.


"Soalnya aku enggak dikasih penjelasan dan pilihan sama dokternya. Jadi, aku nurut saja," kata Nika, yang saat itu statusnya masih honorer di sebuah perusahaan. Dokter yang "nakal" seperti itu, ungkap Marius, sebenarnya bisa dijerat dengan UU Perlindungan Konsumen. Selain itu, apabila terbukti ada dokter yang bekerja sama dengan produsen penjual obat palsu juga bisa dijerat UU Korupsi.


Untuk mengatasi obat palsu, Marius berharap Menteri Kesehatan segera mengesahkan draf Surat Keputusan Menkes mengenai perbandingan harga obat bermerek dan obat generik yang diajukan GP Farmasi sejak tahun lalu. Draf itu antara lain mengatur perbedaan harga obat generik dan bermerek tak lebih tiga kali lipat. Dengan demikian, diharapkan pemalsuan obat bisa dikurangi.


"Pemalsuan pasti berkurang karena kan keuntungannya juga berkurang. Untuk apa dipalsukan kalau selisihnya juga sedikit," katanya. (Khairina)