Bekti-medicastore.com
05-04-2010

Obat Halal di Indonesia

Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim mencapai 203 juta jiwa merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Oleh karena itu pentingnya penyediaan obat yang halal merupakan hal yang wajar untuk dilakukan dan dapat menjadi pangsa pasar tersendiri bagi para produsen obat di Indonesia. “Ajaran Islam sendiri mewajibkan setiap pemeluknya untuk memastikan kehalalan apa-apa yang dikonsumsinya, baik berupa makanan, minuman ataupun obat-obatan”, demikian menurut ketua MUI KH. Ma’aruf Amin dalam acara seminar nasional “Pentingnya Penyediaan Obat Halal di Indonesia” yang diselenggarakan oleh LPPOM MUI dan berlangsung pada tgl 31 Maret 2010 kemarin di Balai Kartini, Jakarta.

Seminar Obat Halal, 310310 balai kartini.jpg
Ki-ka : KH. Ma’aruf amin (Ketua MUI); Ir. Lukmanul Hakim, M.Si (Ketua LPPOM MUI); Dra. Sri Indrawaty Apt, M.Kes (Dirjen Bina Kefarmasian dan Alkes Departemen Kesehatan)


Definisi obat menurut Permenkes no 1010/Menkes/Per/XI/2008 adalah obat jadi yang merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan termasuk produk biologi dan kontrasepsi yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan peningkatan kesehatan. Sedangkan yang dapat menjadi titik kritis dari segi kehalalannya pada obat adalah penggunaan beberapa bahan yang digunakan sebagai bahan tambahan pada produk ataupun proses pembuatannya yang dapat bersumber dari bahan haram. Seperti misalnya penggunaan gelatin untuk cangkang kapsul atau coating vitamin yang dapat terbuat dari babi ataupun sapi, alkohol untuk pelarut obat-obatan (tetapi apabila kandungan alkohol dalam obat tersebut < 0,5% masih ditolerir oleh bagian fatwa MUI) serta penggunaan bagian tubuh/sel dari binatang untuk proses pembuatan vaksin termasuk sebagai media pertumbuhan vaksin.

Menurut Departemen Kesehatan sendiri sampai saat ini memang belum ada ketentuan pencantuman label halal pada produk obat di Indonesia, persyaratan yang ditetapkan kepada produk obat lebih kepada persayaratan mutu dan keamanan. Tetapi menurut Dra. Sri Indrawaty Apt, M.Kes dari Bina Kefarmasian dan Alkes Departemen Kesehatan menyebutkan bahwa untuk obat-obatan yang mempunyai indikasi penggunaan bahan non halal dalam proses pembuatan ataupun pada produk akhirnya akan ditanya asal-usul bahan tersebut dan dimintai sertifikat dari lembaga syariat setempat. Kemudian apabila ternyata produk obat tersebut memang mengandung bahan yang haram, maka harus dicantumkan dalam penandaannya untuk obat yang haram, seperti :


contoh label 1 contoh label 2
Contoh Label : Informasi didalam kotak berwarna merah diatas dasar putih

Menurut LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia) untuk menentukan halal tidaknya suatu produk bukan merupakan hal yang mudah. Hal ini karena untuk menentukan halal atau tidak bukan hanya berdasar dari asal bahan baku, bahan tambahan atau bahan penolong yang digunakan saja tetapi juga harus diketahui proses produksinya. Karena mungkin saja walaupun bahan bakunya halal tetapi ketika dalam proses pembuatannya tercampur/bersinggungan dengan bahan yang tidak suci atau haram maka hasil akhir produk yang dihasilkan pun akan menjadi tidak halal.

Walaupun demikian menurut KH. Ma’aruf Amin ada beberapa kondisi tertentu yang dapat membuat sesuatu yang wajib menjadi tidak wajib yaitu keadaan darurat (ad-dharurah). Kadaan darurat tersebut menimbulkan dispensasi mengenai bolehnya mengkonsumsi yang haram untuk pengobatan, karena yakin adanya bahaya yang mengancam/menimbulkan kematian bila tidak mengkonsumsi obat tersebut dan belum ada obat lain yang dapat menggantikan obat tersebut. Contoh kasusnya adalah penggunaan vaksin meningitis untuk orang yang akan pergi haji/umrah yang marak menjadi pemberitaan tahun lalu karena diyakini telah terkontaminasi dengan bahan dari babi. Untuk kasus tersebut MUI membolehkan penggunaan vaksin meningitis itu karena sampai saat ini masih belum ditemukan vaksin meningitis lain yang halal. Tetapi yang perlu diingat adalah bahwa keadaan darurat tersebut hanya bersifat sementara, dalam arti apabila telah ditemukan obat lain yang lebih halal maka harus diganti segera.

Dari seminar nasional tersebut diharapkan didapatkan hasil kepastian hukum mengenai perlunya pelabelan halal untuk produk obat yang beredar di Indonesia. Hal ini karena selama ini pelabelan halal tersebut masih berupa himbauan yang sifatnya tidak mengikat. Dengan adanya label halal pada produk obat yang digunakan, maka diharapkan umat muslim di Indonesia akan menjadi lebih tenang untuk mengkonsumsi obat-obatan dalam hal penyembuhan penyakitnya.