Anak merupakan dambaan setiap pasangan suami istri karena pada merekalah segala tumpuan, harapan &  kasih sayang akan dilimpahkan. Tetapi tidak semua pasangan suami istri berhasil untuk memiliki anak, prevalensi kasus infertilitas pada pasangan usia subur sendiri diperkirakan sebanyak 10-15%. Program bayi tabung atau fertilisasi in-vitro akhirnya menjadi pilihan terakhir bagi pasangan suami istri yang tidak kunjung memiliki anak, meskipun sudah menjalani berbagai program kehamilan yang disarankan oleh dokter. Meskipun demikian program bayi tabung juga memiliki kendalanya sendiri, yaitu biaya yang dikeluarkan tidak sedikit sementara tingkat keberhasilannya belum mencapai 50%.

Sebenarnya sebelum proses bayi tabung dilaksanakan, pasangan suami istri sudah melalui berbagai tahap pemeriksaan untuk mengetahui kondisi kesehatan keduanya, termasuk pemeriksaan sperma & sel telur. Setelah terjadi pembuahan & pembentukan embrio, juga dilakukan seleksi kualitas embrio secara morfologi histologi, sehingga hanya embrio yang berkualitas saja yang akan ditanamkan ke dalam rahim. Tetapi ternyata dari embrio yang berkualitas sama pun, ada yang berhasil hamil & ada juga yang tidak hamil. Sehingga diperlukan adanya parameter lain untuk menilai kualitas embrio yang bisa meningkatkan persentase terjadinya kehamilan pada program bayi tabung.

Dr.dr. Taufik Jamaan, Sp.OG pada sidang disertasi untuk meraih gelar doktornya pada hari Kamis, 30 Januari 2014 kemarin berhasil menemukan parameter lain yang bisa menilai kualitas embrio untuk meningkatkan keberhasilan program bayi tabung.  Parameter tersebut adalah identifikasi secara marker biokimia pada medium kultur yang berkaitan dengan kualitas embrio & juga bisa memprediksi terjadinya implantasi & kehamilan.

Marker biokimia tersebut adalah soluble Human Leukocyte Antigen-G (sHLA-G), yaitu suatu antigen yang berkaitan dengan jumlah sel & kualitas perkembangan embrio (embryo grade). Kadar dari sHLA-G yang terlarut pada cairan supernatan kultur embrio setelah proses program fertilitas in-vitro maupun ICSI ini diduga berhubungan dengan keberhasilan kehamilan. Sehingga penilaian kadar sHLA-G ini dapat menjadi biomarker untuk seleksi embrio sebelum  dilakukan transfer embrio pada program fertilitas in-vitro, sekaligus menjadi variabel yang berperan sebagai prediktor keberhasilan program bayi tabung.

Pada penelitian yang dilakukan oleh dr. Taufik selama 6 bulan, didapat kesimpulan bahwa kadar sHLA-G yang ≥ 18,4 unit/mcl bisa dijadikan sebagai variabel untuk memprediksi kehamilan pada proses bayi tabung.  Variabel lain yang juga berperan adalah riwayat infertilitas sekunder & jumlah sel embrio ≥ 8 sel. Dengan adanya hasil ini diharapkan bisa meningkatkan tingkat keberhasilan progam bayi tabung sehingga memperbesar peluang pasangan suami istri untuk bisa memiliki anak.