Dalam konfrensi pers yang diselenggarakan oleh Koalisi untuk Indonesia Sehat mengenai kampanye "Pentingnya Gizi Anak" dr. Dini Latief MSc, dari Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Depkeskesos mengatakan, meski prevalensi gizi buruk sudah menurun, dari 8,1 persen dari 1,7 juta balita yang menderita gizi kurang pada tahun 1999 menjadi 7,5 persen pada tahun 2000 berdasarkan survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) namun jumlah nominalnya masih terhitung tinggi, yaitu 160.000 balita. Jumlah itu belum termasuk anak-anak yang menderita kekurangan gizi mikro, yaitu zat besi, yodium dan vitamin A yang menyebabkan kekeringan selaput ikat mata karena kekurangan vitamin A.
Dr. Dini menegaskan "Gizi kurang, gizi buruk dan gangguan akibat kekurangan gizi mikro bisa mengganggu tumbuh kembang anak dan berpotensi menyebakan lost generation atau generasi yang tidak mampu bersaing di masa depan."
Sedangkan menurut Prof. Dr. dr. Ascobat Gani MPH dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 80 persen proses pertumbuhan otak terjadi sejak janin sampai anak berusia dua tahun.
"Otak kosong" akan dialami anak di bawah usia dua tahun yang kekurangan gizi, sehingga kecerdasannya rendah dan demikian pula dengan produktivitasnya, hal itu terlihat dari penampang lintang otak anak kurang gizi dibandingkan anak yang cukup gizinya. Pada gilirannya akan menghasilkan generasi pekerja kasar yang tidak berpenghasilan tinggi alias miskin, yang tidak mampu memberi makanan bergizi pada anaknya sehingga siklus terulang kembali.
Dr. Dini juga mengungkapkan bahwa "DARI KEKURANGAN YODIUM SAJA, Indonesia kehilangan 190 juta poin IQ per tahun. Selain itu, anak yang kekurangan yodium akan cebol. Ini masalah yang sangat serius, tetapi tidak kelihatan karena anak tidak tampak sakit, masih bisa berlari-lari. Oleh karena itu, disebut sebagai kelaparan tersembunyi. Hampir satu dari sepuluh anak usia sekolah (9,8 persen) menderita gondok akibat kekurangan yodium"
Ada 42 juta penduduk Indonesia yang tinggal di daaerah yang kekurangan Yodium. Dalam kaitan itu pula pemerintah mengadakan garam beryodium bagi masyarakat.
Dr. Dini menegaskan "Gizi kurang, gizi buruk dan gangguan akibat kekurangan gizi mikro bisa mengganggu tumbuh kembang anak dan berpotensi menyebakan lost generation atau generasi yang tidak mampu bersaing di masa depan."
Sedangkan menurut Prof. Dr. dr. Ascobat Gani MPH dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 80 persen proses pertumbuhan otak terjadi sejak janin sampai anak berusia dua tahun.
"Otak kosong" akan dialami anak di bawah usia dua tahun yang kekurangan gizi, sehingga kecerdasannya rendah dan demikian pula dengan produktivitasnya, hal itu terlihat dari penampang lintang otak anak kurang gizi dibandingkan anak yang cukup gizinya. Pada gilirannya akan menghasilkan generasi pekerja kasar yang tidak berpenghasilan tinggi alias miskin, yang tidak mampu memberi makanan bergizi pada anaknya sehingga siklus terulang kembali.
Dr. Dini juga mengungkapkan bahwa "DARI KEKURANGAN YODIUM SAJA, Indonesia kehilangan 190 juta poin IQ per tahun. Selain itu, anak yang kekurangan yodium akan cebol. Ini masalah yang sangat serius, tetapi tidak kelihatan karena anak tidak tampak sakit, masih bisa berlari-lari. Oleh karena itu, disebut sebagai kelaparan tersembunyi. Hampir satu dari sepuluh anak usia sekolah (9,8 persen) menderita gondok akibat kekurangan yodium"
Ada 42 juta penduduk Indonesia yang tinggal di daaerah yang kekurangan Yodium. Dalam kaitan itu pula pemerintah mengadakan garam beryodium bagi masyarakat.