Apa yang dimaksud dengan Post-Power Syndrome ?
Post Power Syndrom(PPS) secara sederhana merupakan gejala psikologis yang terjadi setelah seseorang lepas dari kuasanya. Biasanya PPS terjadi pada seorang pejabat yang sudah habis masa jabatannya, atau seorang di organisasi atau komunitas yang sudah keluar. Perilaku PPS terjadi karena orang yang sebelumnya dihormati, disegani serta ditaati omongannya kemudian secara cepat sudah tidak dianggap lagi karena sudah purna tugas dan dirasa tidak mempunyai wewenang lagi.
Intinya Post-Power Syndrome adalah suatu keadaan yang terjadi akibat seseorang hidup dalam kebesaran bayang – bayang masa lalunya (bisa berupa jabatan, karier, kecerdasan, kepemimpinan, atau hal lainnya), dan belum dapat menerima realita yang ada saat ini, sehingga menimbulkan gejala-gejala dibawah ini.
Beberapa Gejala Post-Power Syndrome :
-
Gangguan fisik: tampak kuyu, terlihat lebih tua, sakit – sakitan.
-
Gangguan emosional: mudah tersinggung, pemurung, cenderung menarik diri dari pergaulan, tidak suka dibantah.
-
Gangguan prilaku: pendiam, atau sebaliknya menjadi senang bicara tentang kehebatan dirinya di masa lalu, senang menyerang pendapat orang, tidak mau kalah, dan menunjukkan kemarahan baik di rumah maupun di tempat umum.
Siapakah yang rentan terkena Post-Power Syndrome ?
Tidak semua lansia akan mengalami post-power syndrome saat memasuki masa pensiun. Pada umumnya ciri kepribadian yang rentan terhadap post-power syndrome adalah mereka yang senang dihargai dan dihormati orang lain, gila jabatan, dan suka dilayani orang lain – atau biasa disebut orang yang memiliki need of power yang tinggi. Tetapi sebaliknya, orang – orang dengan kepercayaan diri yang kurang kuat, sehingga selalu membutuhkan pengakuan dari orang lain, dan merasa aman melalui jabatannya – saat memasuki masa pensiun pun rentan terkena post power syndrome.
Ciri-ciri orang yang rentan menderita post-power syndrome :
-
Orang-orang yang senangnya dihargai dan dihormati orang lain, yang permintaannya selalu dituruti dan suka dilayani orang lain.
-
Orang-orang yang membutuhkan pengakuan dari orang lain karena kurangnya harga diri, jadi kalau ada jabatan dia merasa lebih diakui oleh orang lain.
-
Orang-orang yang menaruh arti hidupnya pada prestise jabatan dan pada kemampuan untuk mengatur hidup orang lain, untuk berkuasa terhadap orang lain. Istilahnya orang yang menganggap kekuasaan itu segala-galanya atau merupakan hal yang sangat berarti dalam hidupnya.
Bagaimana cara mencegahnya ?
Ada beberapa nasihat psikologis untuk menghindarkan diri dari post-power syndrome.
-
Pada saat melakukan suatu pekerjaan atau sebelum menjabat, perlu disadari bahwa segala sesuatu adalah karunia dari Tuhan termasuk kekusaan dan jabatan.
-
Kekuasaan itu tidak bersifat permanen sehingga harus mempersiapkan diri apabila suatu waktu kuasa itu lepas, pribadi yang siap akan menjadi pribadi yang lebih tahan dalam menghadapi krisis ini.
-
Sebaiknya selama memegang jabatan, tidak hanya memikirkan bagaimana cara untuk memertahankan kekuasaan, tetapi memikirkan bagaimana cara untuk melakukan kaderisasi / regenerasi. Penghargaan akan diberikan bukan karena kekuasaan yang dimiliki, tetapi karena telah melakukan suatu regenerasi yang baik.
-
Perlu selalu ditanamkan bahwa tujuan kekuasaan bukanlah agar kita dihargai oleh orang lain, tetapi supaya kita dapat berbuat lebih banyak bagi kesejahteraan orang lain.
Solusi dalam Menghadapi Penderita :
Bagaimanapun juga, mencegah lebih baik daripada mengobati. Tetapi apabila sudah terlanjur menderita Post-power syndrome, maka diperlukan kesabaran dan penerimaan yang luar biasa dari pasangan maupun anggota keluarga yang tinggal serumah.
-
Hal pertama yang perlu dilakukan adalah pemahaman bahwa penderita tidak sepenuhnya menyadari gejala yang dia alami. Tetapi dengan melawan secara frontal pun bukan merupakan suatu cara yang bijaksana. Lebih baik meminta pihak ketiga, seseorang yang mendapat respek dari yang bersangkutan untuk memberikan nasihat atau melalui kegiatan – kegiatan yang dapat mendekatkan diri kepada Tuhan.
-
Kedua, sebaiknya belajar untuk menerima penderita apa adanya. Tidak merespons kemarahan dengan hal yang sama. Disarankan agar penderita mempunyai berbagai aktivitas untuk menyalurkan emosi negatif atau ketidakpuasan hidupnya secara lebih konstruktif.
Dukungan lingkungan terdekat, dalam hal ini keluarga, dan kematangan emosi seseorang sangat berpengaruh dalam melewati masa krisis ini. Jika penderita melihat bahwa orang – orang terdekatnya mampu memahami dan mengerti tentang keadaan dirinya atau ketidakmampuannya mencari nafkah, ia akan lebih bisa menerima keadaannya dan lebih mampu untuk berpikir secara dingin. Hal tersebut akan kembali memunculkan kreativitas dan produktivitasnya, walaupun tidak sehebat sebelumnya, sehingga akhirnya penderita dapat menemukan aktualisasi diri yang baru dan melewati masa krisis ini dengan baik.
Sumber :
-
Santoso, Agus. Peran serta keluarga pada lansia yang mengalami post-power syndrome. Media ners. 2008; 1 – 44.
-
Wijayanto, Johannes. PHK dan Pensiun Dini Siapa Takut. Jakarta:2005.
-
Semiun, Yustinus. Kesehatan Mental. Jakarta:2007.