Gorila, Jamur, dan HIV?

Gorila, jamur, dan HIV. Sulit membayangkan jika ketiga hal itu bisa saling terkait dan berhubungan. Awal November lalu, pada akhirnya dipastikan adanya virus yang mendekati HIV pada gorila.



Karena itu, para ahli menyarankan dengan sangat agar menghindari konsumsi daging makhluk yang berperilaku mirip manusia tersebut. Seiring dengan itu, para ilmuwan tak mampu menutup mata pada merebaknya jamur sebagai efek samping para penderita HIV.



Perkembangan HIV/AIDS memang tidak bisa diabaikan. UNAIDS, Badan PBB untuk Kesehatan Dunia Khusus AIDS, memperkirakan perkembangan dan pertumbuhan penyakit tersebut sudah pada tingkat yang sangat memprihatinkan.



Tahun 2006 tercatat 39,5 juta orang hidup dalam kungkungan HIV. Jumlah ini meningkat lebih dari 2,9 juta dibandingkan dengan tahun 2004. Dari jumlah itu, korban yang terinfeksi menjadi 4,3 juta orang atau meningkat sekitar 400.000 orang dibandingkan dengan tahun 2004.



Di Indonesia sendiri, perkembangannya pun sudah mengkhawatirkan. Sejak kasus pertama ditemukan tahun 1987, pada Juni 2005 ditemukan 7.090 kasus. Jumlah itu terus meningkat. September 2005 ditemukan 8.250 kasus. Sedangkan Desember dilaporkan ditemukan 9.565 kasus, yang terdiri dari 5.321 kasus AIDS, 4.244 HIV, dan 1.028 penderita meninggal dunia.



Dalam lokakarya menyambut Hari AIDS Sedunia di Jakarta, Selasa (28/11), Dr Rosmini Day MPH mengatakan, estimasi infeksi HIV tahun 2002 antara 90.000 hingga 120.000 kasus. Sedangkan tahun 2006, antara 169.000 hingga 216.000 kasus. Hingga akhir September 2006, ditemukan 6.987 kasus di 158 kabupaten/kota.



Gorila dan penyebaran HIV

Ia mengakui, dalam lima tahun terakhir, terjadi peningkatan epidemi HIV dan AIDS yang sangat cepat di Indonesia, terutama dari kelompok pengguna napza suntik dan perilaku seksual beresiko. Rosmini menggarisbawahi terjadinya kebersinggungan antarkelompok berisiko dan penularan pada kelompok di antaranya yang disebut kelompok jembatan.



Bahkan, pada tingkat dunia para ilmuwan Perancis mulai mendapat titik terang kemungkinan gorila liar pun terinfeksi virus semacam HIV. Penemuan itu mereka publikasikan melalui majalah Nature, edisi 9 November 2006. Awalnya, Dr Martin Peeters, seorang virolog, dan rekannya, Eric Delaporte, dari Institut Pengembangan dan Pengkajian Universitas Montpellier, hanya penasaran dengan soal penyebaran SIV atau simian viral strain.



Rasa penasaran mereka semakin tebal karena virus yang seharusnya hidup di kera atau simpanse ini mulai menjalar pula ke manusia. Persoalannya, ketika berada di tubuh manusia, SIV ini diyakini kemudian akan bermutasi menjadi virus HIV pada tingkat awal.



Untuk menjawab rasa penasaran itu, mereka kemudian mengumpulkan 500 sampel feses dari gorila dan simpanse di pedalaman Kamerun, Afrika. Hasilnya pun cukup mencengangkan. Setidaknya 40 dari 323 feses simpanse itu mengandung antibodi yang beraksi terhadap turunan dari HIV-1. Begitu juga dengan gorila.



Minimal enam dari gorila yang mereka tes positif SIV. Secara genetika, virus turunan yang disebut sebagai SIVgor itu itu terkait dengan HIV-1 grup O. Pada manusia, turunan HIV-1 grup O ini menjadi salah satu penyebab infeksi HIV/AIDS di Kamerun dan sekitarnya.



Karena itu, Martin dan Eric mengingatkan pentingnya menghindari kontak langsung dengan hewan-hewan tersebut. "Siapa saja yang suka makan daging simpanse atau gorila, atau bersentuhan langsung dengan daging mereka untuk keperluan pengobatan tradisional, beresiko tertular HIV," ujar Martin seperti dikutip harian AS, The Washington Post.



Infeksi jamur pada ODHA

Selain itu, akhir-akhir ini frekuensi penyakit jamur atau mikosis pada pasien imunokompromi pun meningkat tajam. Dalam arti, bertambahnya jumlah orang yang terinfeksi virus HIV/AIDS (ODHA), pasien kanker dengan kemoterapi, dan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif.



Spesialis Kulit dan Kelamin Dr Sandra Widati SpKK dari FKUI/ RSCM menyatakan, infeksi superfisialis atau infeksi pada permukaan tubuh itu antara lain dapat ditemukan pada infeksi kulit yang disebabkan jamur penyebab panu atau Mallassezia furfur dan kurap karena jamur golongan dermatofita. Infeksi organ bagian dalam dapat disebabkan berbagai spesies jamur, bahkan oleh jamur penyebab panu.



Infeksi jamur dapat disebabkan golongan khamir atau lebih dikenal sebagai golongan ragi dan golongan kapang atau jamur benang. Golongan khamir, misalnya jamur panu dan ragi, penyebab keputihan atau candida. Jamur yang termasuk golongan kapang antara lain aspergillus oryzae yang sering tumbuh pada beras atau roti.



Penyakit infeksi jamur superfisial dapat ditemukan pada individu imunokompeten maupun imuniokompromis seperti pasien terinfeksi HIV. Mikosis superfisialis yang terdapat pada pengidap HIV/AIDS Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM umumnya kandidosis oral (52,9 persen) dan kuku (0,6 persen). Penyakit lainnya adalah dermatofitosis kruris atau korporis (3,8 persen) dan kuku (1,3 persen), serta malasseziosis yang disebabkan pityriasis versicolor (4,5 persen).



Golongan khamir yang dapat menyebabkan infeksi sistemik, misalnya candida spp dan cryptococcus neoformans. Hasil penelitian berbeda di Departemen Parasitologi FKUI menemukan, sebanyak 63 persen pengidap HIV/AIDS terinfeksi jamur candida spp pada rongga mulutnya dan 16 persen menderita kriptokokosis selaput otak disebabkan jamur cryptoccus neoformans. Infeksi candida juga dapat menyerang bayi yang lahir dengan berat badan rendah dan pasien yang dirawat di ruang perawatan intensif.



Selain jamur golongan khamir, jamur golongan kapang, seperti Histoplasma capsulatum, juga dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Jamur ini merupakan jamur patogen sejati yang dapat menginfeksi manusia sehat dan individu imuniokompromi. Pada manusia sehat, penyakit histoplasmosis dapat sembuh sendiri, tetapi dapat jadi reaktivasi bila di kemudian hari pasien itu jadi imunokompromi. Di Indonesia, hal ini terlihat pada pasien terinfeksi HIV yang mengalami disseminated histoplasmosis.



Kasus penyakit jamur, baik superfisialis maupun sistemik, makin bertambah. Sebelum muncul pandemi AIDS, kasus kulit terbatas pada infeksi yang disebabkan jamur panu dan dermatofita, kini kasus mikosis kulit tidak jarang merupakan manifestasi kelainan sistemik yang disebabkan penyebaran jamur penyebab mikosis sistemik ke kulit. Hal ini ditemukan pada orang yang terinfeksi HIV, dan dalam frekuensi lebih rendah ditemukan pada pasien non-AIDS yang menjadi imunokompromi karena dirawat secara intensif.



"Menurunnya kekebalan tubuh orang dengan HIV/AIDS menyebabkan mereka mudah terserang berbagai penyakit, mulai dari infeksi jamur, toksoplasma, tuberkulosis, dan kanker," kata spesialis dalam Prof Zubairi Djoerban SpPD KHOM. Di wilayah DKI Jakarta, lebih dari 50 persen ODHA menderita infeksi jamur dan tuberkulosis. Sedangkan 70 hingga 80 persen dari mereka menderita penyakit hepatitis C.



Infeksi jamur berupa candida akan berakibat fatal bagi ODHA jika sudah menyerang esofagus yang terletak antara mulut dan bagian bawah lambung.



"Dalam kondisi ringan, candida akan menyerang tenggorokan. Tetapi, kalau sudah parah, bisa menyerang organ bagian dalam tubuh manusia," kata Zubairi.



Agar komplikasi tidak bertambah parah, Zubairi menyarankan perlunya pengobatan antiretroviral dan dengan obat untuk mengatasi komplikasi tersebut. "ODHA yang terkena infeksi jamur harus mengonsumsi ARV ditambah obat antiinfeksi jamur. Masalahnya, kadang kala mereka menderita sejumlah penyakit yang obatnya bisa memperburuk penyakit lain," tuturnya.