Obat Hipertensi Ternyata Meningkatkan Risiko Diabetes

Beberapa obat hipertensi dapat meningkatkan risiko diabetes terutama bagi mereka yang sudah memiliki risiko diabetes, berdasarkan hasil laporan peneliti di Amerika Serikat.


Menurut laporan tersebut, penghambat reseptor angiotensin (angiotensin-receptor blockers/ARBs) dan penghambat enzim pengubah angiotensin (angiotensin-converting-enzyme/ACE) merupakan obat hipertensi yang kurang berisiko menimbulkan diabetes. Kemudian diikuti oleh penghambat kanal kalsium yang berisiko sedang.


Ternyata penghambat beta dan diuretik adalah obat hipertensi yang paling berisiko menyebabkan diabetes. Laporan ini dipublikasikan dalam The Lancet bulan Januari 2007 lalu.


Terdapat perbedaan dalam berbagai obat yang digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi pada pasien yang menjadi diabetes, kata peneliti Dr. William Elliot, dari Departemen Pencegahan Penggunaan Obat, Pusat Kedokteran Universitas Rush, Chicago.


Dalam studi tersebut, Elliott dan rekan kerjanya Peter Meyer mengamati hasil 22 uji klinis yang melibatkan lebih dari 143,000 orang. Pasien tersebut memiliki tekanan darah tinggi tetapi tidak memiliki penyakit diabetes pada awal uji klinis. Pada tiap uji klinis, partisipan menerima pengobatan jangka panjang dengan berbagai jenis obat hipertensi atau plasebo.


Pengobatan konvensional yang digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi di Amerika adalah diuretik dan penghambat beta. Elliott menyebutkan bahwa kedua jenis obat tersebut merupakan obat yang berpeluang besar menyebabkan diabetes.


Ditemukan bahwa jenis obat hipertensi baru (penghambat reseptor angiotensin dan penghambat enzim pengubah angiotensin) adalah obat yang kurang menyebabkan diabetes, sedangkan penghambat kanal kalsium memiliki risiko sedang.


Elliot mencatat bahwa risiko terkena diabetes ketika menggunakan diuretik dan penghambat beta tergantung beberapa faktor, seperti berapa lama anda menjalani pengobatan, berat badan anda, riwayat diabetes dalam keluarga, apakah anda mengalami kenaikan berat badan dan faktor risiko lain.


Bagaimana dokter harus meresepkan obat hipertensi berdasarkan temuan studi ini kurang dibahas. Kata Elliot,?Di Britain mereka memiliki pedoman bahwa kombinasi diuretik dan penghambat beta sebaiknya tidak digunakan bersama karena peningkatan risiko diabetes.


Dokter yang menangani pasien yang berisiko diabetes sebaiknya diresepkan penghambat reseptor angiotensin dan penghambat enzim pengubah angiotensin daripada pengobatan lini pertama yaitu pengambat beta dan diuretik.


Bagaimanapun, jika anda sebagai dokter yang memiliki pasien dengan tekanan darah tinggi, penyakit ginjal dan baru mengalami serangan jantung, berarti mereka akan mendapatkan pengobatan penghambat beta untuk melindungi mereka dari serangan jantung. Mereka juga akan diberikan diuretik karena penyakit ginjal.


Jika mereka menderita diabetes, anda hanya bisa menerimanya dan terus maju. Anda tidak bisa menyangkal bahwa mereka membutuhkan pengobatan yang mereka butuhkan hari ini di luar risiko diabetes yang mungkin mereka dapat alami.


Seorang ahli diabetes berpikir bahwa dokter harus mengambil risiko pasien dapat mengalami diabetes ketika meresepkan obat tekanan darah tinggi.


Pengobatan yang disesuaikan dengan individu sangat penting, ungkap Dr. Stuart Weiss, seorang ahli endokrin Pusat Kedokteran Universitas New York. Dengan ?ledakan? diabetes di negeri ini, perlu pertimbangan ketika memberikan antihipertensi pertama mereka.


Weiss berpikir bahwa pasien tersebut sebaiknya tidak diawali dengan penghambat beta atau diuretik. ?Berdasarkan semua data mengenai penggunaaan jangka panjang penghambat reseptor angiotensin dan penghambat enzim pengubah angiotensin dan risiko terendah menyebabkan diabetes, adalah hal bagus untuk memberikan obat ini di awal pengobatan pada pasien yang bahkan memiliki risiko rendah diabetes tipe 2.


Seorang ahli jantung menyetujui bahwa pengobatan membutuhkan penyesuaian berdasarkan kebutuhan pasien.


?Sejak dokter memiliki banyak pilihan dalam menurunkan tekanan darah, masuk akal untuk menyesuaikan pilihan obat pada pasien yang mungkin berada pada risiko tinggi untuk penyakit tertentu,? ujar Dr. Byron K. Lee, seorang asisten profesor pengobatan divisi kardiologi pada Universitas California, San Fransisco.


Sebagai contoh, mereka yang memiliki risiko terbesar diabetes dapat diberikan obat penghambat reseptor angiotensin dan penghambat enzim pengubah angiotensin, sedangkan pada pasien yang berisiko terbesar terkena serangan jantung dapat diberikan penghambat beta, kata Lee.


Dalam berita yang berkaitan, mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat sama efektifnya dengan meminta resep obat yang menurunkan risiko diabetes tipe 2, menurut sebuah studi yang dilaporkan dalam jurnal yang terbit mingguan, British Medical Journal.


Peneliti dari Leicester mereview studi yang mengukur efek dari intervensi yang berbeda seperti gaya hidup, obat diabetes dan obat antiobesitas pada orang yang toleransi glukosanya terganggu.


Mereka menemukan bahwa perubahan gaya hidup seperti makan makanan sehat dan meningkatkan olahraga sama efektifnya dengan minum obat. Pada rata-rata, studi ini menemukan perubahan gaya hidup membantu menurunkan risiko berkembangnya diabetes tipe 2 sebanyak setengahnya dan juga lebih sedikit mengalami efek samping.