Scientific Medicastore
31-10-2007

Waspada risiko infeksi TB pada ODHA

Penderitaan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) seakan tidak ada habisnya. HIV menyerang sistem kekebalan tubuh, sehingga ODHA rentan terhadap berbagai infeksi penyakit. Salah satunya adalah tuberkulosa (TB) yang dulu lebih dikenal dengan TBC.

ki-ka: dr. Titi Sundari, Sp.P; Moderator; Edha Bara Padang.

Dalam media edukasi yang diselenggarakan Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) DKI Jakarta bekerjasama dengan Kemitraan Australia-Indonesia hari Rabu (24/10/07), dr. Titi Sundari, Sp.P dari Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso mengatakan, "kasus TB tidak habis-habis karena ada hubungannya dengan HIV."

Lebih lanjut, dalam media edukasi yang bertemakan Risiko TB bagi Orang dengan HIV/AIDS di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dr Titi Sundari mengungkapkan bahwa 1 dari 3 orang dengan HIV/AIDS terinfeksi TB.

Asia Selatan dan Tenggara memikul beban 40% dari jumlah kasus TB global. Banyaknya jumlah penderita TB di Indonesia membuat negara kita menduduki peringkat ketiga setelah India dan China dengan kasus baru sebanyak 539.000 per tahun. "Bahkan, TB merupakan penyebab kematian akibat infeksi no 1 di Indonesia," kata dr. Titi Sundari.

Lemahnya sistem pertahanan tubuh membuat ODHA dapat mengalami berbagai infeksi oportunistik seperti jamur di mulut, toxoplasma, herpes zoster, hepatitis, TB, dll. Berdasarkan data yang dikumpulkan di RSPI Sulianto Saroso tahun 2006, TB merupakan infeksi oportunistik paling tinggi pada ODHA yaitu sebesar 277 kasus.

"Jika tubuh kemasukan kuman TB, dapat terjadi 3 kemungkinan, orangnya menjadi sakit karena gizi yang kurang bagus, tubuh mampu membunuh kuman sehingga orangnya tidak sakit, dan kuman yang masuk ditahan oleh daya tahan tubuh yang disebut dengan kuman 'tidur'," jelas dr Titi Sundari.

Berbeda antara infeksi TB dengan penyakit TB. Pada infeksi TB, kuman masuk tetapi ditahan oleh tubuh sehingga kuman 'tidur', sedangkan pada penyakit TB orangnya sakit dan dapat menularkan penyakit kepada orang lain. Sebanyak 10% orang dengan infeksi TB diperkirakan akan menjadi penyakit TB.

Penyakit TB dapat terjadi dalam 2 tahun pertama setelah infeksi, terutama jika orang yang terinfeksi tergolong immunocompromized seperti penderita HIV, kanker, sedang menjalani kemoterapi, diabetes yang tidak tekontrol dan malnutrisi.

HIV merupakan faktor risiko utama yang menyebabkan TB aktif. TB menyebabkan kon\disi tubuh menjadi jelek sehingga mortalitas tinggi. Tidak heran jika TB adalah penyebab kematian utama pada ODHA.

"Pada kasus koinfeksi TB-HIV/AIDS, diobati TBnya dahulu," kata dr. Titi Sundari. Untuk mengobati TB diperlukan waktu minimal 6 bulan. Obat yang harus diminum setiap harinya pun banyak antara lain, isoniazid, rifampisin, etambutol, pirazinamid. Di Puskesmas kini sudah tersedia fix dosed combination yang terdiri dari 3 tablet yang berisi 4 obat.

Baik HIV maupun TB memerlukan kepatuhan dalam minum obat. Jika pengobatannya bersamaan dengan pemberian antiretroviral (ARV) untuk HIV/AIDS maka dikhawatirkan akan drop out (putus obat). Belum lagi efek toksisitas obat TB yang tumpang tindih.

Dalam beberapa kasus, TB justru muncul ketika pengobatan ARV diberikan. Kondisi ini disebut dengan immune reconstitution implementation syndrome (iris). "CD4 yang sudah stabil meningkat karena pemberian ARV dan menyebabkan kuman TBC yang tidur menjadi aktif," papar dr Titi Sundari

Untuk mencegah ODHA terinfeksi TB, Edha Bara Padang, seorang konselor HIV/AIDS RSPI Sulianti Saroso menjelaskan, "pasien HIV diberi gambaran keadaan tubuh tanpa daya tahan tubuh sehingga mudah terinfeksi TB, jalani hidup sehat dengan makan 4 sehat 5 sempurna, dan libatkan keluarga untuk mendukung ODHA."

ODHA juga diberi pengetian sehingga harus berhati-hati dalam perilaku. Salah satu yang diajarkan adalah etika batuk. Kuman TB dapat menular melalui percikan ludah saat batuk. Dengan etika batuk, diharapkan kuman TB tidak menulari orang lain.

Upaya menurunkan angka kematian akibat koinfeksi perlu diintensifkan mengingat pengobatan TB yang efektif sesungguhnya telah tersedia di Indonesia. Sayangnya, pada HIV stadium lanjut, gejala TB tidak jelas terlihat sehingga tidak terdeteksi dokter.

dr Titi Sundari menjelaskan bahwa RSPI Sulianti Saroso mempunyai standar protokol. Untuk pasien yang datang dengan stadium lanjut dimana tidak khas gejala TBnya, jika diterapi ARV ternyata memburuk, maka ARV tetap dilanjutkan dan diterapi TB. Obati TB, obati HIV/AIDS, berobat sekarang juga.

Untuk undangan liputan seminar dan kegiatan lain hubungi redaksi kami di fax. : 021 - 7397069 atau redaksi@medicastore.