Press release dari Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME)
13-01-2014

Ada 52 juta perokok di Indonesia

 

Meskipun sejumlah negara memperlihatkan penurunan rasio perokok, angka prevalensi kebiasaan merokok di Indonesia memperlihatkan kecenderungan peningkatan dari 1980 hingga 2012. Saat ini diperkirakan terdapat sebanyak 52 juta orang yang merokok di Indonesia, menurut penelitian terbaru dari Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) di University of Washington.

Di seluruh dunia, prosentase dari populasi yang merokok,  atau juga dikenal dengan prevalensi memperlihatkan penurunan, tetapi jumlah penikmat rokok di seluruh dunia telah meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk. Indonesia merupakan salah satu dari 12 negara yang menyumbangkan angka sebanyak 40% dari total jumlah perokok dunia.

“Jumlah pria perokok di Indonesia telah meningkat sebanyak dua kali lipat sejak 1980, dan prevalensi pria perokok di Indonesia tercatat sebagai kedua tertinggi di dunia,” ungkap Dr. Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan Republik Indonesia. “Ini merupakan fakta yang menyedihkan yang dapat memberikan dampak negatif pada kondisi kesehatan serta biaya kesehatan di negara kita. Tapi, tentunya ini juga merupakan fakta bahwa kami akan terus berkomitmen dalam melakukan tindakan nyata dalam mengurangi angka tersebut di Indonesia untuk kepentingan seluruh masyarakat, dan membantu mengurangi angka penyakit yang disebabkan oleh tembakau di seluruh dunia.”

Penelitian yang bertajuk ”Smoking Prevalence and Cigarette Consumption in 187 Countries, 1980-2012” diterbitkan pada tanggal 8 Januari di Journal of the American Medical Association dalam edisi khusus yang didedikasikan untuk membahas masalah tembakau.

Secara global, prevalensi merokok berdasarkan usia sudah menunjukkan penurunan sebanyak 42% di kalangan wanita, dan 25% di kalangan pria, antara 1980 dan 2012. Empat negara yaitu Kanada, Islandia, Meksiko dan Norwegia telah berhasil memangkas angka prevalensi di negara nya hingga separuhnya sejak 1980.

Di Indonesia, prevalensi merokok sangat bervariasi antara pria dan wanita. Pada 2012, 57% pria Indonesia digolongkan sebagai perokok aktif, dan tercatat sebagai kedua tertinggi di dunia. Wanita Indonesia, memperlihatkan prevalensi merokok sebanyak 3,6%. Angka yang sangat kecil dibandingkan para pria perokok. Sementara Cina, Taiwan, Vietnam dan negara-negara lain di Asia Timur dan Asia Tenggara memperlihatkan kecenderungan yang sama, antara kebiasaan merokok antara pria dan wanita.

Secara global, meskipun prevalensi memperlihatkan penurunan, pertumbuhan populasi yang substansial di seluruh dunia antara 1980 dan 2012 menyumbangkan sebesar 41% pada jumlah pria perokok harian dan 7% pada jumlah wanita perokok.

Lebih dari 50% pria di beberapa negara, termasuk Indonesia, Rusia, Armenia dan Timor Leste merokok setiap hari. Prevalensi merokok pada wanita di atas 25% terdapat di negara Austria, Cili, Perancis dan Yunani. Angka pria perokok terendah terdapat di Antigua dan Barbuda, Sao Tome dan Principe, serta Nigeria. Sedangkan pada wanita di Eritrea, Kamerun dan Maroko.

Perbedaaan-perbedaan tersebut terus terjadi meskipun berbagai upaya untuk pengawasan tembakau dijalankan secara ketat di seluruh dunia. Lima tahun lalu, laporan pertama yang dikeluarkan oleh US Surgeon General mengenai dampak dari merokok menghasilkan riset yang memberikan terobosan baru dalam hal tembakau dan investasi oleh pemerintah dan berbagai organisasi nirlaba untuk mengurangi prevalensi tembakau dan konsumsi rokok. Pada 2003, Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) diadopsi oleh World Health Assembly serta sudah diratifikasi di 177 negara. Indonesia

Menurut angka-angka terbaru dari studi Global Burden of Disease (GBD) yang dikoordinasikan bersama IHME, di Indonesia, penggunaan tembakau menyebabkan hampir 200.000 kematian, 9,1% berkurangnya usia, dan 7,2% masalah kesehatan. Estimasi ini tidak termasuk berbagai penyakit sebagai efek dari perokok pasif.

“Pengawasan tembakau, sangatlah penting terutama di negara-negara dimana jumlah perokok mengalami peningkatan,” kata Alan Lopez, Laurate Professor di University of Melbourne. “Karena kita tahu bahwa separuh dari para perokok akan meninggal dunia disebabkan oleh tembakau, peningkatan jumlah perokok berarti semakin tinggi pula angka kematian dini dalam kehidupan kita.”

 “Perubahan dalam prevalensi tembakau biasanya berlangsung lambat, memperjelas bahwa hal ini merupakan kebiasaan yang sulit ditinggalkan,” tambah Emmanuela Gakidou, Professor of Global Health and Director of Education and Training in IHME. “Tapi kami tahu dari tren global yang terjadi, bahwa kemajuan pesat pun bisa saja terjadi. Jika banyak negara dapat mengulangi kesuksesan yang terjadi di Norwegia, Meksiko dan Amerika Serikat, kita semua dapat menyaksikan berkurangnya penyakit akibat merokok.”

“Secara global, telah terjadi kemajuan yang signifikan dalam melawan angka kematian disebabkan oleh tembakau,” ungkap Matthew L. Myers, President of The Campaign for Tobacco-Free Kids. “Angka-angka tersebut memperlihatkan bahwa dimana negara-negara mengambil langkah nyata, penggunaan tembakau dapat berkurang secara dramatis, di sisi lain betapa mengerikannya konsekuensi dapat dirasakan jika negara-negara tidak secara penuh mengadopsi dan mengimplementasikan pengawasan penggunaan tembakau secara efektif.”