Mengenal Toxic Parents dan Dampaknya pada Kesehatan Mental Anak

Mungkin Anda pernah mendengar istilah ‘toxic parents’, atau besar dalam keluarga dengan ‘toxic parents’, atau bahkan menjadi pelakunya?

Apa itu toxic parents? Bagaimana dampaknya pada kesehatan mental anak?

Pengertian Toxic Parents

Sebenarnya toxic parents bukanlah istilah medis. Ketika membicarakan istilah ini, yang dimaksud adalah orang tua yang secara konsisten berperilaku yang menyebabkan anak-anaknya merasa bersalah, takut dan terpaksa.

Toxic parents lebih memikirkan kebutuhannya sendiri dibandingkan dengan dampak buruk akibat perilakunya. Seringkali mereka tidak meminta maaf atau bahkan mengakui kesalahannya, dan perilaku kekerasan atau pengabaian cenderung terus berlangsung atau bertambah buruk.

Ciri-ciri Toxic Parents

Toxic parents dapat memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Perilaku memikirkan diri sendiri. Orang tua tidak hadir secara emosi untuk anak, memiliki sifat narsistik, atau tidak peduli akan kebutuhan anak.
  2. Kekerasan fisik dan verbal. Kekerasan tidak harus selalu memukul, mengancam, atau berteriak, diberi julukan, disalahkan, didiamkan atau ditinggalkan juga dapat termasuk ke dalam kekerasan.
  3. Perilaku mengendalikan. Orang tua yang toksik tidak mengizinkan anaknya membuat keputusan, atau terlalu mengkritik bahkan ketika anak sudah dewasa.
  4. Perilaku memanipulasi. Orang tua menggunakan rasa bersalah atau rasa malu untuk mengendalikan anak.
  5. Perilaku memaksa. Anak dipaksa untuk selalu menuruti kemauan orang tua.

Sebagai manusia, adalah hal yang wajar apabila sesekali orang tua merasa marah atau tidak dapat mengendalkan diri. Akan tetapi apabila perilaku tersebut menetap, selalu dilakukan atau memiliki pola, akan ada dampak buruk bagi anak-anak yang mengalaminya.

Dampak Toxic Parents bagi Anak

Keluarga adalah pondasi utama bagi anak untuk melihat dan berinteraksi dengan orang lain, berbagai tempat, dan hal-hal di sekelilingnya.

Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga dengan orang tua yang toksik tidak berdaya dan tidak memiliki kendali akan lingkungannya yang toksik.

Anak-anak dengan toxic parents dapat tumbuh berbeda dengan anak-anak lainnya dari keluarga sehat.

Anak-anak tersebut tumbuh dengan masalah emosi akibat trauma berulang dari tindakan, kata-kata dan sikap orangtuanya.

Mereka dapat melakukan berbagai cara untuk mengatasi trauma di masa kecil, dengan cara terburuk seperti mengkonsumsi alkohol, menggunakan obat terlarang, atau mengulangi apa yang dilakukan oleh orangtuanya (ketika ia sendiri sudah menjadi orangtua).

Sebagian lain dapat merasakan kecemasan atau kemarahan, tanpa menyadari apa penyebabnya.

Anak-anak yang tumbuh dari keluarga dengan toxic parents seringkali mengalami kesulitan membentuk dan mempertahankan hubungan yang ramah, sulit mempertahankan rasa percaya diri yang positif, sulit mempercayai orang lain, mengalami kecemasan bila tidak dapat mengendalikan situasi, ataupun menyangkal perasaannya sendiri atau kenyataan.

Masalah yang ada di keluarga disfungional cenderung berkepanjangan sehingga efek negatif dari pengasuhan orang tua dapat menjadi dominan bahkan setelah anak dewasa.

Anak di keluarga dengan toxic parents telah menerima pengasuhan yang salah sejak kecil, sehingga anak dapat menyakini bahwa hal-hal buruk yang dialaminya adalah normal.

Seseorang yang mentalnya sehat adalah orang yang matang secara emosi, mampu mengelola psikologisnya sendiri sehingga tidak memproyeksikannya kepada anak-anaknya.

Orang tua yang psikologisnya sehat, dapat memberikan kasih sayang tanpa menginginkan balasan, dapat membentuk batasan dan mendisiplinkan anak dengan sesuai, dan secara bersamaan menghargai anak.  

Anak-anak yang tumbuh dari keluarga disfungsional dapat memiliki salah satu atau beberapa ciri berikut ini:

  1. ‘Anak baik’. Adalah anak yang berusaha menjaga ketenangan dalam keluarga, menengahi dan mengurangi ketegangan antar orang tua. Perilaku ini dapat merupakan reaksi dari kecemasan terhadap kehancuran dalam keluarga.
  2. Anak bermasalah atau menyimpang. Adalah anak yang berperilaku menyimpang untuk mendapatkan perhatian dan membuat orang tua melupakan masalah mereka.
  3. Anak yang menjadi ‘kambing hitam’. Adalah anak yang selalu disalahkan atas masalah dalam keluarga.
  4. Anak ‘hilang’. Anak yang pendiam, tidak mencolok, yang seringkali kebutuhannya diabaikan.
  5. Anak yang menarik perhatian. Anak menggunakan media misalnya komedi untuk mengalihkan perhatian dari masalah dalam keluarga.
  6. Anak ‘perencana’. Anak menggunakan kesempatan atas kesalahan anggota keluarga lainnya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.

Mengatasi Permasalahan Toxic Parents

Orang tua dengan perilaku toksik seringkali tidak menyadari bahwa perilakunya berdampak buruk kepada anak-anaknya, dan perilaku anak yang muncul akibat respon terhadap toxic parents seringkali justru dianggap masalah yang sebenarnya.

Sebagai langkah awal, perhatikan perilaku anak-anak Anda, apakah ada ciri-ciri yang telah dijelaskan di atas. Apabila anak memiliki tanda-tanda tersebut, sebagai orang tua, Anda harus membuka diri, menerima bahwa Anda sudah memperlakukan anak Anda dengan kurang baik dan belajar kembali mengelola masalah pribadi dan emosi Anda, dan mempelajari pola pengasuhan anak yang baik dan benar.

Meminta maaf kepada anak mungkin bagi sebagian orang tua sulit dilakukan, atau sudah sering dilakukan tanpa ketulusan sehingga anak sudah hilang kepercayaan kepada orangtuanya.

Rumah dan keluarga seharusnya adalah tempat anak mendapatkan kasih sayang dan perlindungan, bukan mendapatkan perlakuan buruk dari keluarganya sendiri.

Apabila Anda sebagai orang tua memiliki masalah emosional, psikologis, yang mempengaruhi sikap dan perilaku Anda kepada anak-anak Anda, mintalah bantuan untuk membantu menyelesaikan masalah Anda.

Anda dapat meminta bantuan keluarga, teman, atau tenaga profesional untuk menyelesaikan masalah Anda.

Anda dapat belajar menerapkan nilai-nilai berikut ini dalam keluarga agar tercipta keluarga yang sehat dengan anak-anak yang secara mental juga sehat:

  1. Izinkan dan terima berbagai ekspresi emosi dan minat anak.
  2. Hargai sesama anggota keluarga termasuk anak. Hormati batasan yang dibuat anak terhadap orang tua.
  3. Ciptakan lingkungan keluarga yang aman dan nyaman, tanpa penyiksaan fisik, verbal, emosional maupun seksual.
  4. Memenuhi kebutuhan anak adalah kewajiban orang tua, jangan mengharapkan anak untuk berlaku sebaliknya.
  5. Kewajiban anak disesuaikan dengan umurnya, bersifat fleksibel dan kesalahan anak dimaklumi.
  6. Tidak mengharapkan semua hal dicapai dengan sempurna karena hal ini tidak mungkin dilakukan.
  7. Menghargai dan mendengarkan pendapat anak.
  8. Memuji keberhasilan anak atas hal kecil sekalipun.

 

 

 

 

Referensi:

  • https://clinmedjournals.org/articles/jfmdp/journal-of-family-medicine-and-disease-prevention-jfmdp-3-059.php?jid=jfmdp
  • https://www.healthline.com/health/parenting/toxic-parents
  • https://www.psychologytoday.com/us/blog/traversing-the-inner-terrain/201805/surviving-the-toxic-parent