Bekti-medicastore.com
20-03-2014

Gangguan Tingkah Laku Rentan Terjadi pada Anak dengan Epilepsi

Menurut data WHO (World Health Organization) dari banyak penelitian yang dilakukan menunjukkan rata-rata prevalensi epilepsi aktif adalah 8,2 / 1000 penduduk dimana angka insidensnya mencapai 50 / 100.000 penduduk & untuk tahun 2009 diperkirakan ada 50 juta penyandang epilepsi di seluruh dunia dengan 80% nya ditemukan di negara berkembang. Di Indonesia sendiri belum ada data pasti angka kejadiannya tapi dengan sekitar 220 juta penduduk maka diperkirakan angka kejadian epilepsi mencapai 1,8 juta. Jumlah ini tentu bukanlah angka yang sedikit. Demikian hal tersebut diungkap dalam acara seminar media tentang “Penyakit penyerta (komorbiditas) pada epilepsi anak” yang berlangsung di Jakarta tanggal 19 Maret 2014 kemarin. Seminar media ini diadakan untuk memperingati World purple day 2014, yang diperingati tiap tanggal 26 Maret setiap tahunnya.

Nara sumber pada acara seminar media tentang Penyakit penyerta (komorbiditas) pada epilepsi anak

Epilepsi dapat terjadi pada siapa pun tanpa memandang ras, tingkat status sosial-ekonomi, jenis kelamin maupun usia. Oleh karena itu epilepsi pun bisa terjadi sejak mulai dari kanak-kanak bahkan sejak bayi. Pada anak dengan epilepsi dapat disertai dengan komorbiditas (penyakit penyerta) yang beragam. Komorbiditas ini bisa karena penyebab epilepsi itu sendiri (adanya gangguan / kerusakan pada otak), atau dari jenis epilepsi yang dialami maupun efek samping dari obat yang digunakan (terutama untuk obat golongan barbiturat seperti fenobarbital). Faktor resiko dari terjadinya komorbiditas pada anak dengan epilepsi adalah : usia awal terkena epilepsi, lama menderita epilepsi, frekuensi terjadinya kejang, politerapi, penggunaan obat tertentu (fenobarbital), klasifikasi epilepsi & sindrom epilepsi tertentu, demikian penjelasan dari Dr.dr.R.A Setyo Handryastuti, Sp.A (K) dalam acara seminar di atas. Jenis komorbiditas yang bisa dialami oleh anak dengan epilepsi adalah : perkembangan yang terlambat, gangguan kognitif, masalah dalam belajar & ADHD, depresi & kecemasan serta autisme, tambah dr. Handry.

Nara sumber lain dalam acara tersebut, Dr.dr. Tjhin Wiguna, Sp.KJ (K) mengatakan bahwa jika terjadi masalah kesehatan mental atau gangguan mental pada anak dengan epilepsi, maka sebaiknya dilakukan intervensi baik berupa intervensi psikososial seperti konseling, psikoedukasi & psikoterapi baik secara individu ataupun bersama dengan keluarga & juga farmakoterapi baik dengan pemberian obat anti depresi atau anti psikotik bila diperlukan. Ia juga menambahkan mengenai pentingnya keluarga terutama orang tua untuk lebih sensitif terhadap perubahan emosi ataupun prilaku yang terjadi pada anak dengan epilepsi supaya apabila ada perubahan pada kedua aspek tersebut bisa dideteksi secepatnya & dilakukan penanganan secara dini juga. Hal ini akan membantu membuat kualitas hidup anak menjadi lebih optimal sehingga anak dengan epilepsi pun bisa tumbuh & berkembang sesuai dengan potensinya.