Scientific Medicastore
20-03-2007

Seminar Paradigma Baru Pengobatan Depresi

ki-ka: dr. Widjaya Kusuma (PT Wyeth); Eugenia Siahaan; dr. Danardi S, SpKJ; Prof. Dr. Sasanto W, SpKJ.



(Medicastore) Rabu, 14 Maret 2007 lalu PT Wyeth mengadakan media edukasi bertemakan “Paradigma Baru Pengobatan Depresi” di Hotel Gren Melia, Jakarta Selatan. Dalam media edukasi kali ini dibahas mengenai hasil uji klinis terbaru yaitu studi PREVENT dan penganugrahan pemenang Mental Health Jurnalistic Award 2006-2007.

Depresi Berujung Bunuh Diri

Menurut laporan WHO tahun 2001 silam, gangguan mental menempati urutan no.4 penyebab disabilitas pada tahun 2000. Diperkirakan pada tahun 2020 nanti, depresi akan menempati urutan ke-2 dalam beban global Gangguan Kesehatan.

"Depresi merupakan gangguan mental yang paling banyak menimbulkan beban disabilitas. Penderita depresi berisiko bunuh-diri dan mengalami penurunan kualitas-hidup penderita dan seluruh keluarga," ungkap Prof. Dr. Sasanto Wibisono, SpKJ (K).

Penyakit yang dulu disebut self limiting disease ini ternyata sering tidak terdeteksi oleh dokter. Sebanyak 30% penderita depresi tidak terdeteksi saat berkunjung ke dokter. Hal ini mungkin disebabkan oleh penderita yang tidak langsung mengakui bahwa dirinya depresi.

Umumnya, keluhan yang kerap dilontarkan penderita merupakan keluhan yang dirasakan secara fisik seperti tidak bergairah, lemas, tidak bisa tidur, dan sebagainya. Akhirnya, gejala depresi sering diobati sebagai gejala penyakit fisik, sedangkan depresinya tetap tersamar.

Kriteria diagnostik menurut Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa (PPDGJ-III), penderita depresi memiliki minimal 2 gejala utama berikut:

  1. Suasana perasaan (mood) yang depresif.
  2. Kehilangan minat dan kesenangan (anhedonia).
  3. Berkurangnya energi atau mudah lelah (anergia).

Penderita depresi memiliki minimal 2 gejala lain yang umum seperti:

  1. Konsentrasi dan perhatian kurang
  2. Harga diri dan percaya diri berkurang
  3. Gagasan perasaan bersalah dan tidak berguna
  4. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
  5. Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri sendiri atau bunuh diri
  6. Tidur terganggu
  7. Nafsu makan berkurang.
Gejala-gejala tersebut harus berlangsung lebih 2 minggu untuk bisa disebut depresi.

Sebagian besar penderita depresi akan mengalami kekambuhan, yang akan meningkatkan beban penyakit seperti gejala semakin parah dan risiko kambuh selanjutnya akan semakin besar. Oleh sebab itu diperlukan pengobatan depresi yang mencapai remisi (penyembuhan) dengan cepat dan mencegah kekambuhan.

“Dahulu pengobatan depresi bertujuan sebagai simtomatik yang artinya mengurangi atau menghilangkan gejala depresi. Namun, sekarang fokus pengobatan depresi adalah mengatasi gejala (simtomatik) dan mengembalikan fungsi sosial serta kualitas kehidupan (Quality of Life/QOL),” kata profesor yang juga berpraktek di Sanatorium Dharmawangsa tersebut.

Paradigma Baru Antidepresi

Paradigma baru pengobatan depresi kini tidak hanya mengendalikan gejala, namun juga mengelola faktor risiko. Pengobatan jangka panjang yang tepat memberikan hasil terapi optimal dalam usaha pencegahan episode baru depresi hingga 2 tahun.

Saat ini paradigma pengobatan depresi telah bergeser dari pengendalian gejala menjadi penanganan secara komprehensif yang diperlukan untuk mengoptimalkan hasil terapi bagi penderita. Paradigma baru ini lebih memfokuskan pada identifikasi penderita dengan faktor risiko kekambuhan dan pengelolaan proses depresi.

Di masa lalu, terapi jangka panjang belum mendapat perhatian dalam pendekatan pengobatan pada depresi mayor. Pandangan bahwa depresi dapat diobati dengan antidepresan semata menimbulkan anggapan pengobatan depresi dapat dihentikan secara cepat dan anggapan bahwa penderita tidak berada dalam risiko tinggi untuk mengalamai kekambuhan (relapse) dan juga kasus berulang (recurrent).

Manajemen depresi yang optimal memerlukan terapi jangka panjang. Pengobatan jangka panjang dengan antidepresan telah menunjukkan keefektifan dalam emncegah atau menunda kasus berulang pada penderita dengan sejarah episode berganda.

Terapi maintenance jangka panjang dengan antidepresan saja atau bersamaan dengan psikoterapi terbukti dapat menurunkan kemungkinan kasus berulang dan memperpanjang waktu sebelum terjadinya kasus berulang pada penderita depresi.

Studi PREVENT

Data klinis terbaru menunjukkan bahwa venlafaxine extended release membantu penderita usia dewasa dalam pencegahan episode baru depresi hingga 2 tahun. Data ini diperoleh dari studi Prevention of Recurrent Episodes of Depression with VENlafxine XR for Two Years(PREVENT) yang dipresentasikan pada pertemuan tahunan Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) di Toronto, Kanada pada tahun 2006.

Mekanisme kerja Venlafaxine HCl ini terutama mempengaruhi dua neurotransmitter yaitu serotonin dan norepinefrin yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap gangguan “mood”. Hal ini yang menyebabkan Venlafaxine HCl termasuk golongan SNRI (serotonin norepinefrin reuptake inhibitor) yang merupakan gold standar terapi depresi, “ ungkap dr. Danardi Sosrosumihardjo, SpKJ (K).

Pada tahun pertama studi, kemungkinan mencegah episode baru depresi dengan Venlafaxine HCl sebesar 77%. Kemudian setelah 2 tahun, naik menjadi 92% dibandingkan dengan placebo yang hanya 50%. Akumulasi maintenance tahun 1 dan ke-2 menunjukkan bahwa Venlafaxine HCl dapat mencegah episode baru depresi sebanyak 72% dibandingkan dengan plasebo yang hanya 53%.

“Sebenarnya ada dua hal yang dihindari dalam penanganan gangguan jiwa yaitu relapse dan recurrent,” kata dr. Danardi. Relapse (kekambuhan) digunakan untuk kondisi dimana depresi belum selesai tapi muncul episode depresi yang baru, sedangkan recurrent (kasus berulang) digunakan pada kondisi depresi sudah selesai kemudian timbul episode depresi lagi.

Menurut dokter yang berprofesi sebagai direktur pengawasan NAPZA Badan POM ini, penggunaan jangka panjang antidepresi tidak akan menimbulkan adiksi melainkan ketergantungan. Ketergantungan ini bersifat positif karena meningkatkan kualitas kehidupan penderita, misalnya seperti pada penderita jantung atau diabetes. Bedanya dengan adiksi (seperti pada penggunaan obat terlarang) adalah pada adiksi, penggunaan obat terus menerus, kenaikan dosis, dan kualitas hidup menjadi menurun.

Studi PREVENT menunjukkan manfaat penanganan jangka panjang dari depresi. Data-data hasil studi PREVENT diharapkan dapat mendorong dokter/psikiater untuk meningkatkan harapan penderita terhadap pengobatan depresi termasuk di dalamnya adalah pencegahan jangka panjang dari episode baru depresi.

Tentang Venlafaxine HCl

Venlafaxine HCl (Efexor XR) merupakan antidepresan SNRI pertama yang saat ini digunakan dengan dosis sekali sehari. Venlafaxine HCl adalah terobosan mutakhir dalam pengobatan depresi yang merupakan hasil penelitian PT Wyeth Pharmaceutical.

Manfaat dan keuntungan potensial menggunakan Venlafaxine HCl antara lain mula kerja obat yang cepat, tingkat remisi (penyembuhan) yang tinggi dan mencegah relapse (kekambuhan).

Penelitian membuktikan bahwa perbaikan klinis dari Venlafaxine HCl dapat dirasakan 4 hari penggunaan, sementara pada obat lain memerlukan waktu 1-2 minggu. Oleh sebab itu, PT Wyeth mengklaim bahwa kinerja Venlafaxine HCl lebih cepat.

Sampai saat ini, Venlafaxine HCl merupakan satu-satunya obat antidepresan yang memiliki data penelitian paling panjang dalam hal mencegah kekambuhan penderita depresi.

Mental Health Jurnalistic Award

ki-ka: Asteria E (Femina), Hadriani P (Koran Tempo), Intan J (Media Indonesia).



Untuk mengedukasi dan mensosialisasikan perlunya kesehatan jiwa khususnya depresi kepada masyarakat serta memberikan penghargaan kepada media massa untuk penulisan dan peliputan kesehatan jiwa, PT Wyeth Indonesia menyelenggarakan program tahunan Mental Health Journalistic Award.

Program Mental Health Journalistic Award telah berlangsung selama 2 tahun (2005-2006 dan program 2006-2007) dan kembali diluncurkan rangkaian program yang sama untuk tahun 2007-2008.

Kriteria penilaian Mental Health Journalistic Award terdiri dari clearness (kejelasan penyampaian berita), comprehensive health data (data penunjang tulisan/liputan), dan journalistic point of view(sudut pandang jurnalistik).

Berdasarkan keputusan juri, Intan Juita dari Media Indonesia ditetapkan sebagai pemenang pertama mendapatkan Rp. 8.000.000,-, Hadriani P dari Koran Tempo sebagai pemenang kedua mendapatkan Rp. 6.000.000,- dan Asteria Elanda dari Majalah Femina sebagai pemenang ketiga mendapatkan Rp. 4.000.000,-

Hadiah yang dijanjikan dalam Mental Health Journalistic Award 2007-2008 bertambah menjadi Rp. 10.000.000,- untuk pemenang pertama, Rp. 7.000.000,- untuk pemenang kedua dan Rp. 5.000.000,- untuk pemenang ketiga.

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Eugenia Communications/PT Tulus Putera Merdeka melalui telepon 021-86602946 atau via email ke [email protected]. (FF)

Untuk undangan liputan seminar dan kegiatan lain kirim ke redaksi kami di fax. 021-7397069 atau redaksi@medicastore.