Beberapa kesimpulan yang dikemukakan pada seminar media tanggal 19 Agustus 2015, bertempat dihotel Shangri-la, dengan didukung Pintar Bipolar PT Abbott Indonesia melalui hibah pendidikan tak terbatas (unrestricted educational grant), yakni :
Gangguan Bipolar merupakan gangguan mental yang ditandai dengan dengan adanya perubahan suasana perasaan yang cenderung labil. Gangguan Bipolar (GB) biasanya berulang dalam rentang waktu tertentu serta dapat berlangsung seumur hidup. Perubahan suasana perasaan (mood) pada GB bisa juga terjadi dengan sangat cepat.
GB seringkali dikuti dengan perasaan menyesal dan malu serta sedih yang berkepanjangan setelah orang tersebut memasuki fase remisi. Penyesalan akibat aktivitas seksual yang seharusnya tidak terjadi tersebut akan mengakibatkan orang dengan GB masuk ke dalam fase depresi. Gangguan Bipolar merupakan penyakit kronis dimana sebanyak 15% dari jumlah pasien berakhir dengan bunuh diri.
Pada GB fase manik, selain peningkatan libido (gairah dan dorongan seksual), juga ditandai oleh perasaan gembira yang berlebihan, sangat bersemangat, energik dan sangat aktif, memiliki banyak ide, merasa tidak perlu tidur, melakukan banyak aktivitas secara bersamaan, melakukan tindakan berisiko, membelanjakan uang berlebihan atau boros, berpenampilan berlebihan, serta adanya perilaku seduktif yang tidak jarang menimbulkan masalah pada lingkungan, sosial, dan hukum. Sebaliknya, pada GB fase depresi, justru menunjukan suasana perasaan dan perilaku yang sebaliknya seperti murung, menarik diri, merasa sedih, tidak bergairah, mudah tersinggung, dan adanya dorongan untuk bunuh diri.
dr. Natalia Widiasih, Sp.KJ (K) MPd.Ked, psikiater FKUI-RSCM pada Seminar Media hari ini mengatakan bahwa, “GB juga berhubungan dengan meningkatnya risiko kematian akibat adanya penyalahgunaan zat, kerentanan terjadinya kecelakaan serta adanya risiko bunuh diri. Risiko bunuh diri merupakan penyebab kematian tertinggi pada GB. Oleh karena itu deteksi untuk ide bunuh diri (suicidal ideation) merupakan suatu yang wajib dideteksi pada setiap orang dengan GB. Stressor yang menjadi pencetus kejadian bunuh diri itu juga disebabkan oleh kondisi Gangguan Bipolar sendiri. Perilaku agresif, boros, ataupun promiskuitas merupakan konsekuensi dari episode manik atau hipomanik yang menyebabkan seseorang tidak memiliki kapasitas untuk mengontrol dorongan dari dalam dirinya untuk melakukan hal-hal tersebut.”
“Kasus ketidaksetiaan (infidelity) atau perselingkuhan pada orang dengan GB kerap muncul sebagai dampak dari peningkatan libido (dorongan gairah seksual) pada fase mania. Pasangan hidup orang dengan GB kebanyakan merasa kecewa dan frustasi menghadapi gangguan perilaku tersebut. Jika keluarga tidak memiliki pemahaman yang baik, kondisi ini seringkali menyebabkan keretakan rumah tangga yang berakhir pada perceraian. Deteksi dini dan kepatuhan pada pengobatan merupakan salah satu kunci penting dalam mengatasi gangguan Bipolar ini.” lanjutnya.
Sementara itu, pada kesempatan yang sama, dr. Ashwin Kandouw, SpKJ, psikiater Sanatorium Dharmawangsa mengemukakan, “Kasus peningkatan libido pada GB memang cukup sering ditemukan. Pada dasarnya, penatalaksanaan komprehensif pada GB tergantung gejala yang dialami pasien. Secara farmakologik, pengobatan GB ditekankan untuk mencegah dan meredakan episode mania atau depresi yang efektif dalam jangka panjang. Di sisi lain, ragam penatalaksanaan pada GB terbagi menjadi 3 fase yaitu: fase akut, fase lanjutan dan fase rumatan. Masing-masing dari fase tersebut mempunyai durasi, tujuan tatalaksana, prioritas dan dosis yang berbeda.” Ia menambahkan, "Penting sekali penekanan akan kepatuhan pasien GB terhadap pengobatan.
Kambuhnya penyakit sangat berhubungan erat dengan kurang patuhnya pasien GB melakukan treatment atau terapi. Itu akan berdampak buruk kepada dirinya sendiri, keluarga dan lingkungan sekitar, baik untuk masa sekarang atau jangka panjang. Kualitas hidup orang dengan GB, terutama yang tidak diobati,secara perlahan akan mengalami penurunan. Maka dari itu pengobatan secara rutin dan teratur sangatlah dibutuhkan."
“Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan karena masih banyak mispersepsi terhadap penggunaan obat atau terapi. Banyak orang dengan GB hanya mengandalkan intervensi farmakologik dan mengenyampingkan intervensi non-farmakologik, seperti konseling, psikoedukasi, psikoterapi dari lingkungan sekitar,” lanjutnya.
“Keluarga dan lingkungan juga diharapkan dapat memberi dorongan kepada orang dengan GB agar mereka lebih optimis dalam menjalani kehidupan dengan memperlihatkan kasih sayang, perhatian, kepedulian, penghargaan. Empati dan simpati juga menjadi poin penting dalam masa penyembuhan,” tutupnya.