Bekti-medicastore.com
02-02-2015

Anak yang Sering Bengong juga Bisa Jadi Pertanda Gejala Epilepsi Pada Anak

Epilepsi merupakan suatu penyakit neurologi menahun yang dapat mengenai siapa saja di dunia tanpa batasan usia, gender, ras, sosial dan ekonomi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di Negara berkembang. Dari banyak studi menunjukkan bahwa rata-rata prevalensi epilepsi aktif 8,2/1000 penduduk, sedangkan angka insidensi mencapai 50-70 kasus per 100.000 penduduk. Di Indonesia, dari 237,6 juta penduduknya diperkirakan ODE (Orang Dengan Epilepsi)  sekitar 1,1-8,8 juta. Prevalensi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada usia dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi pada kelompok usia lanjut.

Menurut dr. Fitri Octaviana Sumantri, SpS(K),M.Pd.Ked, Neurolog dari RSCM,  epilepsi dibagi menjadi dua bagian berdasarkan jenis serangannya, yaitu epilepsi umum (kesadaran terganggu) dan epilepsi parsial. Jenis serangan yang termasuk dalam epilepsi umum adalah petit mal (Absence) dimana pasien tampak hilang kesadaran sesaat (bengong), lama biasanya hanya beberapa detik saja, grand mal (tonik klonik) berupa kejang kelojotan seluruh tubuh yang kadang disertai mulut berbusa, tonik yaitu serangan berupa kejang / kaku seluruh tubuh, atonik yaitu serangan berupa tiba-tiba jatuh seolah-olah tidak ada tahanan dan mioklonik, berupa kontraksi dari salah satu atau beberapa otot tertentu.

Dalam presentasinya ia menjelaskan, “Epilepsi bukan penyakit menular. Berbeda dengan yang muncul pada masa kanak-kanak, jenis ini cenderung menetap dan memerlukan pengobatan seumur hidup. Bangkitan pertama pada pasien dewasa harus dievaluasi lebih lanjut. Karena bangkitan yang baru terjadi 1 kali belum tentu didiagnosis sebagai epilepsi. Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang seperti EEG, pencitraan otak (MRI kepala) serta pemeriksaan laboratorium.”

“Agar ODE dapat memiliki kualitas hidup yang baik,” lanjutnya, “Bangkitan epilepsi harus dapat terkontrol. Jika terjadi kekambuhan, maka harus dicari dengan teliti faktor pemicunya yang berbeda pada masing-masing ODE. Misalnya, pada perempuan yang berkaitan dengan perkembangan fisiologis sekundernya, yaitu pada masa pubertas, menstruasi (epilepsi katamenial), pada masa kehamilan, persalinan, menyusui, menopause, masa penggunaan kontrasepsi serta masa terapi sulih hormon. Di samping itu, harus dilihat apakah pasien patuh terhadap pengobatan karena hal ini menjadi sangat penting guna mengontrol serangan epilepsi.”

 

sumber : epilepsydoctor.com

 

Sementara itu, Neurolog Anak RSCM, DR. Dr. Irawan Mangunatmadja, SpA(K) menjelaskan  bahwa manifestasi klinis epilepsi pada anak dapat bersifat aktif seperti kaku seluruh tubuh, ekstremitas bergerak-gerak ritmik beraturan atau anak tampak mengecap-ngecapkan mulutnya. Serangan dapat pula bersifat negatif seperti anak tiba-tiba lemas seluruh tubuh atau aktifitas anak tiba-tiba berhenti kemudian anak tampak bengong. Jadi bila ada gerakan anak yang tidak seperti biasanya dan berulang maka kita harus curiga bahwa anak mengalami serangan epilepsi. Serangan dapat berupa epilepsi fokal apabila serangan mengenai satu sisi badan, kepala atau mata berpaling ke satu arah. Serangan pada epilepsi umum berupa gerakan seluruh tubuh sisi kiri-kanan seperti kaku, klojotan atau lemas. Jadi tidak benar bahwa anak yang mengalami serangan epilepsi mulutnya harus berbusa. Apalagi ada anggapan bahwa air liur pasien epilepsi dapat menularkan penyakit epilepsi.

Lebih lanjut DR. Irawan mengatakan, “Epilepsi anak akan sulit diobati jika ada faktor risiko seperti bila usia awal serangan di bawah usia kurang dari 1 tahun, adanya keterlambatan perkembangan, adanya kelainan neurologis seperti kelumpuhan, gambaran EEG tidak normal, adanya kelainan dalam gambaran MRI kepala, bentuk serangan kejang lebih dari 1 macam, atau serangan tidak berhenti dengan satu macam OAE (Obat Anti Epilepsi).”

Tentang OAE, ia menjelaskan, “Tujuan pemberian OAE adalah agar serangan epilepsi berhenti. Sehingga diharapkan orang tua mengikuti anjuran dokter untuk memberikan OAE selama 2 tahun kepada anak agar terbebas dari kejang. Laporkan bentuk serangan epilepsi terutama bila bentuk serangan berbeda. Orang tua juga perlu mengetahui efek samping OAE yang diminum anak dan apa yang harus dilakukan bila timbul efek samping obat tersebut. Namun penting untuk diingat, penggantian OAE tanpa alasan yang kuat sebaiknya tidak dilakukan karena dalam banyak penelitian ditemukan bahwa hal ini malah mengakibatkan kekambuhan serangan. Perlu diingat bahwa masing-masing OAE secara terapetik tidak ekuivalen.”

“Selalu pastikan ketersediaan obat penghenti kejang karena serangan epilepsi dapat terjadi sewaktu-waktu. Perlu diperhatikan juga bila anak mengalami serangan, perhatikan dengan baik gerakan kepala dan anggota gerak. Ini penting untuk diceritakan ke dokter tentang bentuk serangan anak. Laporan bentuk serangan anak akan membantu dokter dalam menentukan pilihan obat epilepsi yang tepat. Bila tersedia obat penghenti kejang segera masukkan melalui dubur anak. Bila kejang tidak berhenti, dapat diberikan obat penghenti kejang sekali lagi. Dampingi anak sampai sadar kembali. Tidak diperbolehkan memasukkan benda ke dalam mulut diantara gigi atas-bawah. Lidah tergigit lebih sering terjadi pada anak yang mengalami retardasi mental. Tidak boleh pula anak diikat saat serangan kejang,” tutupnya.